Pertengahan Juni 2021 lalu Kompasiana memilih saya sebagai salah seorang pemenang kompetisi blog tentang relief alat musik di Candi Borobudur. Sebagai hadiah, saya dan sembilan pemenang lain mengunjungi pedesaan di sekitar Candi Borobudur. Sebenarnya saya takut-takut juga ke sana. Maklum si Covid sedang merajalela, sehingga pemerintah memberlakukan PPKM darurat. Akibatnya Candi Borobudur---dan  tentu saja obyek-obyek lain---ditutup sementara untuk umum.
Saya pergi berempat dari Bandara Soekarno-Hatta karena pemenang lain berasal dari luar Jakarta, seperti Pekalongan, Yogyakarta, Surabaya, dan Banyuwangi. Â Sebelum berangkat, kami harus tes antigen terlebih dulu. Inilah kali pertama lubang hidung saya dicolok-colok. Eh di sana dua kali lagi dicolok-colok. Pertama, ketika mau menghadiri seminar internasional tentang Candi Borodudur. Kedua, ketika mau kembali ke Jakarta.Â
Sebenarnya enggan juga saya ikut kompetisi blog itu. Maklum saya lulusan arkeologi. Takutnya nanti kalau menang dikomentari, "Terang aja arkeolog, pasti menang deh". Yang menyakitkan tentu kalau kalah, "Masak arkeolog kalah". Tapi akhirnya saya ikut juga. Tadinya sih ingin nostalgia ke Candi Borobudur. Maklum pada 1985 saya menulis skripsi berjudul "Pengunjung dan Masalah Konservasi Candi Borobudur". Sejak itu saya belum pernah lagi ke Candi Borobudur, berarti sudah 36 tahun.
UMKM terdekat
Setiba di Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulonprogo, kami dijemput panitia untuk menuju tempat penginapan, yakni Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Ngargogondo. Meskipun di desa, fasilitas kamar cukup mewah. Ada AC, televisi, dan pemasak air. Berhubung sedang diberlakukan PPKM darurat, kami terpaksa disuguhi nasi kotak yang diantar ke kamar masing-masing.
Ternyata Balkondes Ngargogondo bekerja sama dengan UMKM setempat untuk menyediakan makanan. Di sekitar Borobudur ada beberapa Balkondes binaan perusahaan BUMN. Mereka cukup aktif. Semuanya bekerja sama dengan UMKM terdekat dalam penyediaan konsumsi berat dan konsumsi ringan. Konsumsi berat antara lain ikan goreng dan ayam goreng. Sementara konsumsi ringan pisang dan singkong rebus.
Karena disponsori Kemenparekraf, kami dihadiahi Rp 300 ribu untuk belanja di stan UMKM, ketika acara seminar internasional Borobudur. Ada 6 UMKM yang berjualan di sana. Jadi jatah kami Rp 50 ribu setiap UMKM. Kami boleh berbelanja di atas Rp 50 ribu, namun kekurangannya ditanggung sendiri.
Pemenang kompetisi blog ada 10 orang. Belum lagi para undangan. Meskipun dalam skala kecil, lumayanlah UMKM mulai ada pemasukan. Â Sebelumnya boleh dibilang UMKM hampir mati suri karena pariwisata berada pada titik nadir. Sopir travel, misalnya, untuk sementara berganti profesi menjadi petani. Betapa pandemi berdampak negatif pada bidang perekonomian.
Rata-rata stan UMKM itu dikelola generasi muda. Tentu saja karena mereka lebih familiar dengan gawai atau digital. Produksi memang dikerjakan oleh kaum tua, seperti pembuatan gerabah. Namun pemasaran dilakukan oleh kaum muda. Mereka berpromosi lewat media sosial dan bertransaksi lewat marketplace.