Di Semarang pun peran dokter Tionghoa sangat besar. Dr. Tan Ping Ie pertama kali melayani pasien pada September 1926. Ia ahli bedah lulusan Belanda. Dalam menjalankan praktiknya, dr. Tan Ping Ie, sering menggratiskan pasiennya. Sayang karena terlalu idealis, ia kesulitan membayar sewa rumah dan menanggung biaya hidup. Kemudian ia mencoba peruntungan ke Cirebon.
Masyarakat Solo atau Surakarta pasti mengenal RS dr. Oen. Nah, nama ini berasal dari seorang dokter Tionghoa bernama Oen Boen Ing. Ia dipandang dokternya wong cilik karena tidak pernah minta ongkos saat praktik. Bahkan kadang sering mengeluarkan uang sendiri untuk membelikan obat untuk pasien yang tidak mampu.Â
Tak pernah sekali pun terlintas oleh dokter Oen menjadikan profesi dokter sebagai sarana mendapat keuntungan. Karena itu sebagai penghormatan, Pura Mangkunegaran menjadikannya sebagai dokter keluarga.
Saat ini masih banyak dokter Tionghoa yang memiliki rasa kepedulian sosial tinggi. Andai saja dokter-dokter masa sekarang meniru dokter-dokter masa lalu, tentu termasuk rumah sakit, lebih memperhatikan faktor kemanusiaan daripada keuntungan finansial, banyak masyarakat akan merasa lebih sehat jasmani. Selama ini memang ada jaminan dari BPJS, namun prosesnya cukup lama, misalnya harus mengantre lama di loket. Yah, ibarat warga kelas 2 dibandingkan masyarakat yang membayar sendiri.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H