Huruf Braille antara lain terdapat pada koleksi arca Parwati dari Candi Rimbi (Jombang) abad ke-14 Masehi. Tentu saja label itu masih berbahasa Indonesia. Adanya huruf Braille sangat membantu teman-teman disabilitas kita dalam memahami sejarah.Â
Mereka bisa membaca label itu dengan sentuhan ujung jari. Kita harapkan sedikit demi sedikit koleksi museum akan dilengkapi huruf Braille. Maklum, meskipun kelihatan sederhana, biayanya cukup mahal.
Beberapa tahun lalu Museum Nasional bekerja sama dengan Yayasan Mitra Netra pernah menyelenggarakan "Touch Tour". Â Anak-anak berusia belasan tahun diajak memegang sejumlah arca.Â
"Touch Tour" adalah program kunjungan ke museum bagi anak-anak difabel dari SD Yayasan Mitra Netra untuk belajar lebih jauh soal sejarah.Â
Sambil meraba arca, anak-anak diberikan pengetahuan soal sejarah di balik patung tersebut. Misalnya ketika anak meraba arca Ganesha, mentor menjelaskan kenapa berbentuk gajah dan bersenjatakan kapak.Â
Buku Braille
Museum lain yang sudah memperhatikan kaum tunanetra adalah Museum Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. April 2021 lalu Museum KAA meluncurkan dua produk media belajar berupa buku Braille dan buku suara (audiobook) "The Bandung Connection".Â
Satu lagi berupa video berjudul "Museum untuk Semua: Empat Dekade Perjalanan Museum KAA".Â
Museum KAA memang menyediakan tempat khusus untuk kaum tunanetra. Saya pernah dua kali ke Museum KAA sewaktu kepala museum dijabat Pak Isman, lalu Pak Thomas.Â
Di Perpustakaan Museum KAA ada "Braille Corner". Kita harapkan koleksinya semakin bertambah.Â