Sejak dulu nenek moyang kita selalu menghubungkan fenomena alam dengan cerita mitologi. Jadi penjelasannya tidak berdasarkan ilmiah. Maklum, pada masa itu ilmu pengetahuan belum berkembang.
Fenomena alam yang banyak mitologinya adalah gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Sampai kini segolongan masyarakat masih menganggap bahwa gerhana disebabkan oleh raksasa yang menelan matahari atau bulan.
Matahari dan bulan merupakan benda langit yang sering dihubungkan dengan dewa. Aditya atau Raditya dikenal sebagai Dewa Matahari. Lantas Candra atau Wulan dikenal sebagai Dewa Bulan. Di Nusantara mitologi gerhana termuat dalam berbagai kitab sastra yang berasal dari India. Memang masuk akal karena dewa-dewi dikenal dalam mitologi Hindu. Di Nusantara kitab-kitab sastra itu dituangkan kembali dalam Bahasa Jawa Kuno.
Di Jawa cerita Tantu Panggelaran sangat populer karena dihubungkan dengan Gunung Mahameru dan gunung-gunung lain di Jawa. Di dalamnya terselip kisah tentang kamandalu (kendi) dan amerta (air sakti untuk kehidupan abadi). Dikisahkan kamandalu yang berisi amerta itu hilang dicuri oleh dua raksasa, Ratmaja dan Ratmaji.
Kedua raksasa pencuri itu diketahui berkat laporan Raditya Wulan. Akhirnya Brahma dan Wisnu berhasil merebut kembali kendi kamandalu.
Namun ketika ada pesta, ada seorang raksasa bernama Rahu menyamar sebagai dewa. Ia berhasil ikut minum air amerta. Namun lagi-lagi Raditya Wulan mengetahui penyamaran raksasa yang sebenarnya jahat itu. Wisnu yang memiliki senjata cakra berhasil memenggal leher Rahu hingga putus. Untunglah saat itu air amerta belum sampai ke badan Rahu. Hanya kepala Rahu tetap hidup karena terkena air amerta.
Karena dendam kepada Raditya Wulan maka kepala Rahu selalu mengintip mencari kesempatan untuk menelannya. Ketika Rahu berhasil menelan Raditya Wulan, itulah peristiwa yang disebut gerhana.
Cerita sejenis terdapat pula dalam kitab Samudramanthana. Hanya nama Raditya Wulan berganti Aditya (Dewa Matahari) dan Candra (Dewa Bulan). Kepala raksasa Daitya itu terbang melayang-layang ingin membalas dendam. Namun hanya berhasil menelan sebentar, kemudian Aditya dan Candra keluar lagi.
Adanya gerhana pernah terekam pada prasasti di Candi Belahan (Jawa Timur). Dari penghitungan Trigangga (pensiunan Museum Nasional, pakar prasasti, almarhum), peristiwa itu terjadi pada 7 Oktober 1009 Masehi. Sepanjang 1009, ada enam kali gerhana, terdiri atas empat kali gerhana matahari dan dua kali gerhana bulan. Keempat gerhana matahari itu adalah gerhana matahari sebagian pada 29 Maret, 27 April, 21 September, dan 21 Oktober.***