Sebelum ada Perpustakaan Nasional, perpustakaan terbesar di Jakarta, bahkan di Indonesia, adalah Perpustakaan Museum Pusat. Perpustakaan Museum Pusat berasal dari Perpustakaan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia. BGKW berdiri pada 24 April 1778. Dengan demikian Perpustakaan BGKW menjadi perpustakaan tertua di Asia Tenggara. Koleksi Perpustakaan BGKW terdiri atas buku, surat kabar, majalah, dan peta. Â
Rupanya yang namanya perpustakaan begitu dihormati. Selama Indonesia diduduki tentara Jepang (1942-1945), koleksi perpustakaan tetap utuh. Bahkan menjadi depot dari publikasi-publikasi resmi pemerintah pendudukan Jepang.
Sayang sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945, hampir tidak ada penerbit di Indonesia yang mengirimkan hasil penerbitannya. Pada 1950 nama BGKW diganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI). Ketika pada 1962 LKI diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, nama Perpustakaan Museum Pusat mulai dipakai. Koleksi Indonesia sebelum Perang Dunia II banyak terdapat di perpustakaan ini. Terutama koleksi surat kabar Indonesia sejak zaman Daendels.
Gedung Perpustakaan Museum Pusat terletak di Jalan Medan Merdeka Barat 12. Orang-orang awam mengenalnya sebagai Museum Gajah, karena di depan museum ada patung gajah hadiah dari Raja Siam. Sejak 1979 nama Museum Pusat berganti Museum Nasional. Maka nama perpustakaan pun ikut menyesuaikan.
Sejak 1976, ketika duduk di bangku SMA, saya sering mengunjungi Perpustakaan Museum Pusat. Dulu transportasi masih sulit sehingga saya berhenti di terminal Lapangan Banteng. Dari sana jalan kaki melewati area Monas.
Ketika itu Museum Pusat masih kecil. Gedungnya cuma Gedung Arca atau Gedung A yang dikenal sekarang. Perpustakaan terletak di sini kiri. Kalau tidak salah sekarang ditempati ruang tekstil dan ruang keramik.
Peminjaman buku menggunakan sistem tertutup. Kita melihat-lihat katalogus terlebih dulu, lalu menulis data buku yang ingin dibaca atau dipinjam. Setelah itu formulir kita serahkan kepada petugas. Karena sudah menjadi anggota, saya boleh membawa pulang buku selama dua minggu. Kalau belum anggota, cuma boleh baca di Ruang Baca. Keuntungan lain menjadi anggota, bisa memasuki museum secara gratis.
Ketika kuliah di Jurusan Arkeologi UI mulai 1979, saya masih sering ke perpustakaan. Sambil ke perpustakaan, juga melihat-lihat koleksi museum. Boleh dibilang sambil menyelam minum air. Pak Ali dan Pak Rachmat, dua orang yang paling saya kenal di perpustakaan. Lalu ada lagi Ibu Tuti Munawar, yang memegang koleksi naskah/lontar kuno. Saya pernah melihat lontar Dampati Lelangon untuk keperluan kuliah.
Pada 1981 dicanangkan pembangunan Perpustakaan Nasional di Jalan Salemba Raya. Nah, beberapa waktu setelah gedung jadi, Perpustakaan Museum Nasional, diboyong ke Salemba. Kini Perpustakaan Nasional memiliki dua tempat. Satu lagi di Jalan Medan Merdeka Selatan.