Relief Karmawibhangga ditemukan secara tidak sengaja pada 1885. Setelah didokumentasikan pada 1890, relief itu ditutup kembali. Diduga ini masalah teknis karena kalau tidak ditutup batu-batu besar sebagai penopang pondasi, bagian atas candi tidak kuat menahan beban dan lambat-laut akan runtuh. Namun masyarakat bisa melihat foto-foto relief tersebut di Museum Karmawibhangga, masih di kompleks Borobudur.
Relief Karmawibhangga memiliki 160 panel atau pigura. Hampir semua melukiskan hukum karma atau sebab-akibat. Namun antarrelief tidak saling berhubungan. Diperkirakan relief Karmawibhangga mewakili gambaran dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Kuno pada abad ke-8 hingga ke-9. Adegan pada panel relief menginformasikan tentang flora, fauna, lingkungan alam, busana, status sosial, alat musik, alat upacara, senjata, dan lain-lain (Borobudurpedia, 2017).
Relief Karmawibhangga bersumber dari kitab Mahakarmawibhangga. Karena itu pakar yang mendalami pengetahuan tersebut, tidak sulit menafsirkan gambar relief. Khusus aktivitas bermusik tergambar pada beberapa panel. Antara lain tentang sepasang suami istri kaya memanggil sekelompok pemusik jalanan. Pada panel lain tampak kaum bangsawan sedang duduk berbincang, mereka dihibur tiga pemain musik (Rahasia di Kaki Borobudur, 1992).
Soal alat musik pada relief Karmawibhangga pernah dibahas oleh Roosenani Kusumastuti dalam skripsi di Jurusan Arkeologi UI berjudul "Alat Musik pada Relief Candi Borobudur" (1981). Alat musik yang terpahat, menurut dia, antara lain suling, simbal, lute, ghanta, sangkha, saron, dan gendang.
Rupanya pada masa itu seni musik benar-benar merakyat. Setiap ada pertunjukan musik, masyarakat selalu nonton berbondong-bondong. Tampak pada relief Karmawibhangga itu seorang bapak mengangkat anaknya tinggi-tinggi agar ia bisa melihat jelas pertunjukan tari dan musik dari kejauhan.
Roosenani coba menggali lebih dalam lewat data prasasti, seperti Waharu Kuti (840 Masehi) dan Sri Kahulunan (842 Masehi). Kedua prasasti ditemukan di Jawa dan sezaman dengan Candi Borobudur. Ternyata tidak sembarang orang boleh memainkan "curing" (suling), kecuali mendapat hak istimewa dari raja. Prasasti lain, Lintakan (919 Masehi), mengatakan pemain musik "tuwung" dan "regang" mendapatkan hadiah atau imbalan.
Bukan cuma Roosenani yang melakukan penelitian terhadap relief alat musik. Arkeolog PEJ Ferdinandus membuat disertasi berjudul Alat Musik Jawa Kuno (2001). Sebelumnya etnomusikolog Jaap Kunst menghasilkan sejumlah artikel dan buku mengenai musik di Nusantara.
Meskipun ada alat musik yang belum teridentifikasi namanya, tetap pantas bila dikatakan Borobudur adalah pusat musik dunia. Soalnya, candi ini menjadi satu-satunya tinggalan budaya masa lampau yang memiliki banyak gambaran alat musik.
Untuk memperdalam informasi, silakan baca tulisan saya [Relief Karmawibhangga Membuktikan Candi Borobudur Bukan Dibangun Oleh Nabi Sulaiman].
Pada zaman dulu, pemusik menjadi profesi yang dihormati. Menurut berita Prasasti Julah (987 Masehi), para pemusik mendapatkan upah. Lain lagi informasi dari Prasasti Tejakula (abad ke-9). Dikatakan setiap rombongan seni harus membayar pajak kepada kepala desa.