Buku mencerdaskan bangsa, buku sebagai jendela dunia, buku menjadi sumber informasi, dan entah kalimat bersayap apa lagi yang mengagung-agungkan buku. Yang jelas buku selalu dihubungkan dengan kegiatan membaca. Bahkan buku selalu diidentikan dengan kaum terpelajar atau intelektual.
Buku pula yang menjadi persoalan bangsa sejak lama. Harga kertas yang semakin melonjak karena pajak kertas tinggi, minat baca yang semakin menurun, dan penerbit yang merasa 'diperas' toko buku karena harus memberikan diskon besar, Â menjadikan buku berharga cukup mahal dan sulit diperoleh. Karena sulit terjangkau oleh masyarakat kebanyakan, maka penjualan buku menghadapi kendala. Apalagi buku-buku yang tergolong kategori 'bacaan berat'. Cetak seribu eksemplar pun belum tentu habis dalam setahun sehingga membebani biaya produksi.
Penerbit buku mulai muncul pada 1900-an dipelopori orang-orang Tionghoa. Ketika itu yang tergolong penerbit besar antara lain Tan Khoen Swie di Kediri. Berikutnya muncul nama Balai Pustaka, dibidani oleh orang-orang Barat di Jakarta. Sayang kemudian Penerbit Tan Khoen Swie harus ditutup. Beruntung Balai Pustaka masih berdiri sampai kini, namun jumlah terbitan buku-buku baru semakin sedikit. Bahkan boleh dibilang cuma menerbitkan ulang buku-buku lama.
Sejak masuknya penerbit besar, yang lebih menekankan penerbitan buku-buku ringan dan komik, satu per satu penerbit lama gulung tikar atau minim produksi. Nama Bhratara, Gunung Agung, Djambatan, Prajnaparamita, Yayasan Idayu, dan Indira pada masanya pernah berkibar. Namun kini tinggal nama karena penerus-penerus generasi terdahulu mungkin kurang memiliki idealisme. Menerbitkan buku memang sulit mengharapkan keuntungan finansial. Balik modal saja sudah terbilang cukup lumayan.
Bagi segelintir orang, kehadiran buku sangat membantu mereka dalam berkegiatan. Banyaknya perpustakaan pribadi menunjukkan minat baca dan keinginan berbagi, masih dimiliki sebagian orang. Tidak tertutup kemungkinan perpustakaan pribadi ini diserahkan kepada pemerintah, seperti Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta.
Sebenarnya kecintaan terhadap buku bukan hanya milik intelektual. Kita lihat di berbagai daerah, orang-orang kecil justru rela bergiat pada gerakan literasi. Ada sopir bemo yang memodifikasi kendaraannya menjadi rak buku. Pada siang hari sehabis mencari nafkah, ia mangkal di depan sekolah.
Gerakan literasi juga terjadi pada daerah-daerah terpencil, dengan adanya nama-nama seperti Kuda Pustaka, Perahu Pustaka, dan Gerobak Pustaka. Beberapa orang kecil lain mendirikan taman baca seadanya untuk keperluan anak-anak desa. Mereka rela mengeluarkan dana pribadi untuk mencerdaskan anak-anak kurang mampu. Â Â
Melihat banyaknya perpustakaan sederhana yang digerakkan masyarakat kelas bawah, tampak gerakan literasi sangat bermanfaat. Sayang, selain daya beli masyarakat pedesaan masih rendah, pendistribusian buku masih belum merata. Hanya kota-kota besar yang memiliki banyak toko buku yang mudah diakses masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan para pakar pendidikan dan psikologi, membaca dapat meningkatkan kualitas hidup, juga menjauhkan orang dari jurang kebodohan. Membaca pun membuat orang berlatih memusatkan pikiran dan merangsang saraf otak untuk bekerja. Karena itulah seharusnya buku-buku tersebar merata ke daerah-daerah terpencil.