Sejak lama kita selalu menyebut gerakan literasi yang bertujuan mencerdaskan masyarakat. Pada intinya gerakan literasi terdiri atas dua bagian, yakni membaca dan menulis. Namun orang yang suka membaca, belum tentu bisa menulis.Â
Sebaliknya, orang yang bisa menulis pasti suka membaca. Yang dimaksud tentu saja menulis yang bermanfaat, seperti menulis hasil penelitian di jurnal, menulis artikel di koran, atau menulis di blog (blog pribadi dan blog publik).Â
Bukan menulis status di media sosial, kecuali ada beberapa orang sering menulis informasi yang mencerahkan tentang berbagai ilmu pengetahuan. Namun, tulisan di media sosial hanya bisa dibaca oleh mereka yang berteman atau memiliki akun. Mereka yang tidak memiliki akun, tidak bisa membaca tulisan yang dimaksud.
Berbicara tulisan, terutama di kalangan akademisi atau ilmuwan, orang sering menghubungkannya dengan publikasi ilmiah. Publikasi ilmiah memang berhubungan dengan para dosen, guru, dan peneliti.Â
Mereka memerlukan angka kredit dari publikasi seperti itu. Ada publikasi lokal, ada publikasi nasional, dan ada publikasi internasional. Angka kredit akan semakin tinggi bila publikasi ilmiah tersebut terindeks Scopus. Jenis publikasi ilmiah antara lain hasil presentasi pada forum ilmiah, laporan hasil penelitian, buku teks atau pengayaan, modul/diktat, dan tulisan ilmiah populer pada media cetak.
Selain publikasi ilmiah, ada publikasi populer. Publikasi populer dihubungkan dengan media cetak dalam bentuk Opini atau Feature (Karangan Khas).  Namun disayangkan, angka kredit untuk publikasi populer jauh lebih kecil daripada publikasi ilmiah.Â
Sebelum berkembangnya internet, jurnal ilmiah dicetak paling tinggi 1.000 eksemplar per edisi. Bahkan ada yang hanya 100 sampai 500 eksemplar, tergantung anggaran masing-masing instansi.Â
Sebaliknya tiras koran atau majalah mampu mencapai ribuan bahkan di atas seratus ribu eksemplar. Dengan demikian pembaca tulisan populer jauh lebih luas. Pembaca lebih banyak, tentu dampak lebih luas.
Publikasi ilmiah jelas untuk kalangan terbatas. Bahasa yang digunakan penuh dengan istilah teknis yang sulit dimengerti masyarakat awam. Dalam arkeologi, misalnya, dikenal istilah matrix, bordes, jaladwara, dan test pit. Masyarakat awam pasti masih asing dengan istilah-istilah itu. Hanya kalangan arkeologi yang mengerti.Â
Maka dari itu kita memerlukan tulisan-tulisan-tulisan populer dari kalangan arkeologi. Memang kalangan di luar arkeologi bisa menuliskan hal demikian, namun sering kali keliru tulis atau beda persepsi dengan yang dimaksud arkeolog. Â