Nama Candi Sirih pastilah belum populer di mata masyarakat. Berbeda jauh dengan Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang sudah menjadi 'warisan dunia'. Ukurannya pun relatif kecil dan berlokasi di daerah terpencil.
Candi Sirih tergolong unik. Kalau banyak candi disusun dari batu andesit dan batu bata, candi itu tersusun dari batu tufa. Selama ini jarang sekali dijumpai candi berbahan batu tufa. Biasanya batu tufa hanya dipakai untuk candi-candi berbatu andesit sebagai batu isian. Pasti dulunya candi itu berwarna putih.
Ini karena batu tufa berwarna putih. Boleh dibilang semacam batu kapur. Â Memang batu tufa lebih mudah aus dibandingkan batu andesit. Namun karena pembangunan candi di dekat lokasi Pegunungan Selatan yang mengandung batuan karst, batu tufalah yang dipakai. Tentu untuk memudahkan pasokan bahan dari lokasi sekitar.
Candi Sirih berlokasi di Dusun Kersan, Desa Karanganyar, Kecamatan Weru, Sukoharjo, Jawa Tengah. Cukup mudah mencapai candi itu, apalagi menggunakan aplikasi peta di ponsel. Masukkan saja koordinat 07*48'01,2" LS dan 110*46'41,8" BT (* mohon dibaca derajat).
Candi Sirih pertama kali ditemukan pada 2001. Namun selama bertahun-tahun candi itu terbengkalai. Belum ada perhatian dari pihak mana pun. Mungkin karena cuma berupa reruntuhan batu. Kondisi waktu itu benar-benar memprihatinkan. Â Â
Dinamakan Candi Sirih bukan karena ada tanaman sirih. Bukan pula karena ada lagu 'buah semangka berdaun sirih'. Dikabarkan, dulu banyak orang melakukan tirakat di sini, yang dalam Bahasa Jawa disebut sesirih. Karena itulah kemudian warga menyebutnya sebagai Candi Sirih. Â
Karena selama bertahun-tahun terbengkalai, kondisi Candi Sirih benar-benar menyedihkan. Selain fondasi, hanya bagian kaki yang tampak. Bagian tubuh dan atap sudah hilang. Mungkin pernah kena bencana alam. Bahkan bisa jadi terbawa erosi atau longsor karena  di belakang candi adalah kawasan lahan pertanian milik warga yang bertekstur miring. Sampai kini belum diketahui bagaimana bentuk utuh Candi Sirih.
Sebagian batu dipakai warga sebagai isian membangun talud. Â Disayangkan, dulu belum ada sosialisasi sehingga masyarakat belum tahu adanya aturan dilarang 'memindahkan benda-benda kuno atau cagar budaya'. Â
Beberapa kali situs Candi Sirih diteliti Balai Arkeologi DI Yogyakarta. Wilayah kerja instansi ini memang di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari hasil ekskavasi diketahui Candi Sirih tidak berdiri tunggal melainkan berupa sebuah kompleks.
Menurut Kepala Balai Arkeologi DI Yogyakarta, Pak Sugeng Riyanto, Candi Sirih terdiri atas satu bangunan utama atau candi induk, tiga bangunan pendamping atau candi perwara, dan paling sedikit terdapat satu pagar yang mengelilingi kompleks candi.
Dalam beberapa kali penelitian, tim arkeologi berhasil menampakkan bagian kaki candi induk, bagian kaki candi perwara, sebagian talud, sebagian halaman, dan tangga masuk ke halaman utama. Berdasarkan data hasil ekskavasi, menurut Pak Sugeng, bentuk Candi Sirih dapat digambarkan seperti berikut:
- Candi induk menghadap ke arah barat.
- Di hadapan candi induk terdapat tiga candi perwara menghadap ke timur atau berhadapan dengan candi induk.
- Denah candi induk berukuran 8 meter x 8 meter.
- Denah candi perwara berukuran 3 meteran x 3 meteran.
- Kompleks candi dikelilingi pagar berukuran 32 meter x 32 meter. Â
Karena berbahan relatif lembek, batu tufa tidak mudah diukir. Jadi tidak banyak ornamen dan ukiran pada batu candi. Dulu di bagian tengah candi terdapat sebuah arca. Entah di mana sekarang keberadaan arca itu. Dalam ekskavasi ditemukan sebuah arca kecil yang belum dapat diidentifikasi karena kepala, terutama wajah arca, telah hilang. Hanya ada prabha di bagian belakang kepala yang menunjukkan tokoh dewa.
Ditemukan juga sebuah lingga dari batu andesit. Lingga adalah lambang Dewa Siwa, salah satu dewa tertinggi dalam agama Hindu. Candi Sirih didirikan pada masa Kerajaan Mataram Kuno, yakni abad ke-8 hingga ke-10 Masehi.
Ada banyak hal bisa dipelajari dari Candi Sirih. Candi itu, misalnya, terletak di wilayah yang sepi akan bangunan candi. Maka candi itu bernilai tinggi karena tergolong langka. Selain itu menunjukkan kalau kebudayaan mampu beradaptasi dengan lingkungan.
Pelajaran penting lain adalah kita harus benar-benar menjaga kelestarian warisan masa lampau kita di mana pun berada.***
Rujukan:
- Berbagai berita media cetak
- Sugeng Riyanto. Si Putih Candi Sirih. Balai Arkeologi DI Yogyakarta, 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H