Saya beberapa kali merasakan naik bemo di Jakarta. Di daerah Rawasari/Percetakan Negara pernah ada. Lalu saya pernah naik di daerah Bendungan Hilir. Bemo biasanya mangkal di tempat tertentu. Kalau penumpang sudah penuh, bemo akan berangkat. Maklum, mereka akan kena pungutan oleh "timer" atau pengatur perjalanan.
Di Bogor dulu banyak bemo. Saya juga pernah naik. Ada lagi di Denpasar. Saya ingat pernah terguling naik bemo di Denpasar karena si sopir ngebut dan di jalan ada gundukan tanah. Maklum kecepatan bemo terbatas karena menggunakan mesin 250 cc dua tak.
Di Jepang, bemo dianggap merusak lingkungan, tepatnya polusi suara. Maka pabrik Daihatsu tidak lagi memproduksi kendaraan jenis ini. Akibatnya kehadiran bemo di Indonesia semakin sedikit dan daerah operasionalnya dibatasi pada rute-rute 'kurus' yang tidak tersentuh bis kota. Di Jakarta bemo tersingkir mulai 1971.
Hingga 1980-an bemo masih bertahan karena banyak bengkel mampu membuat suku cadang tiruan. Seorang rekan pernah menjadi bandar bemo. Ia punya 20 kendaraan.Â
Namun karena sistem kanibalisme, artinya suku cadang yang rusak diganti dari suku cadang bemo lain, maka kendaraannya tinggal enam. Sejak Juni 2017 angkutan bemo secara resmi dilarang beroperasi di jalan-jalan DKI Jakarta.
Saat ini bemo hanya bisa dilihat melalui foto dan tinggal kenangan. Kendaraan kecil memang tidak sesuai dengan kota besar.Â
Untuk melihat koleksi aslinya, masyarakat bisa datang ke Museum Transportasi di kawasan Taman Mini atau Museum Angkut di Malang. Kita harus berterima kasih adanya museum karena bisa melihat atau mengingat kembali kenangan akan bemo.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H