Tadinya saya menulis di Kompasiana iseng-iseng saja. Saya mulai menulis di sini sejak 14 Agustus 2016. Sebelumnya saya menulis di media-media cetak ibu kota sejak 1980-an. Saya pernah menulis di koran-koran nasional seperti Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Warta Kota, dan Koran Tempo. Saya pernah menulis pula di tabloid Mutiara, majalah Intisari, majalah Reader's Digest Indonesia, dan majalah Amanah.
Selain menulis, saya pun punya blog pribadi tentang arkeologi [di sini] dan blog museum [yang ini].
Sesuai bidang pendidikan saya arkeologi, maka tulisan-tulisan saya kebanyakan tentang kepurbakalaan dan museum. Karena saya hobi mengoleksi mata uang, maka tulisan tentang numismatik juga memperkaya Kompasiana. Begitu juga tentang grafologi, feng shui, dan palmistri.
Sejak banyak media cetak sekarat dan mati, menulis di Kompasiana mulai sering saya lakukan. Tadinya agak sulit juga menulis di Kompasiana. Maklum ada perbedaan gaya bahasa. Di media cetak kita menggunakan bahasa formal/bahasa baku/bahasa serius. Selain itu disunting oleh redaksi dan mendapat honorarium atas jerih payah kita.
Sebaliknya nulis di Kompasiana tanpa suntingan. Di sini kita boleh menggunakan bahasa nonformal/bahasa gaul/bahasa santai/bahasa ngeblog. Bedanya dengan media cetak, 'honorarium' di Kompasiana berupa interaksi dengan sesama Kompasianer. Akibatnya mereka yang rajin 'blog walking' akan memperoleh poin tinggi. Â Â
Pada tahun kedua di Kompasiana, rupanya tulisan saya mendapat perhatian dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DKI Jakarta. Tulisan saya tentang arkeologi mendapat Anugerah Jurnalistik M.H. Thamrin. Untuk pertama kalinya citizen journalism atau jurnalistik warga mulai dilirik. Lihat [di sini].
Kompasiana sendiri pernah meminta saya menjadi narasumber. Ketika itu belasan Kompasianer diajak mengunjungi obyek-obyek arkeologi di Cirebon. Nah, dari situ saya memiliki banyak kenalan lagi.
Pada 2018 saya menjadi nominasi Best in Citizen Journalism pada ajang Kompasianival. Dinominasikan saja sudah beruntung, meskipun tidak mendapat hadiah utama. Lewat ajang itu saya mendapat beberapa kenalan. Itu saya anggap hadiah penting.
Tak disangka-sangka beberapa tulisan saya mendapat tanggapan dari masyarakat, misalnya tentang numismatik. Kebetulan saya memiliki sejumlah koleksi dobel. Maka berpindah tanganlah koleksi saya itu. Harganya sih cukup murah.
Suatu hari masuk pula ke medsos saya. Rupanya beliau tertarik foto lama saya untuk pembuatan poster. Yah lumayanlah untuk membeli sembako di masa pandemi covid ini.