Setelah meluncurkan film animasi bertema manusia purba Bumiayu (Selasa, 20/10/2020), hari ini (Rabu, 21/10/2020) Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta (Balar DIY) meluncurkan Realitas Virtual (Virtual Reality) Situs Liyangan. Â Â
Situs Liyangan berupa kompleks kepurbakalaan yang berlokasi di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Mungkin karena terletak di lereng Gunung Sindoro, di situs ini banyak ditemukan tinggalan masa lampau berupa sisa-sisa candi, rumah, jalan, dan berbagai artefak lain.Â
Penemuan situs tersebut diumumkan pada 2008. Awalnya dalam kegiatan penambangan pasir, para petambang menemukan struktur bangunan. Penemuan pertama berupa talud, yoni, arca, dan batu-batu candi. Penemuan selanjutnya sebuah bangunan candi yang tinggal bagian kaki dan di atasnya terdapat sebuah yoni yang unik.
Penelitian dan ekskavasi (penggalian arkeologis) dilakukan Balai Arkeologi Yogyakarta pada 2010 dan 2011. Disimpulkan situs Liyangan merupakan perdusunan dari masa Mataram Kuno. Â Lihat juga [di sini].
Realitas Virtual (RV) menjadi inovasi baru di lingkungan arkeologi. Menurut Kepala Balar DIY Pak Sugeng Riyanto, tujuan pembuatan RV supaya bisa diakses di seluruh Indonesia. Jadi informasi tentang situs itu tidak hanya untuk masyarakat setempat. "Semoga aplikasi ini bisa menambah media-media informasi yang sudah ada," katanya.
Sambutan baik juga diberikan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Pak I Made Geria. Selama ini film-film anak-anak di stasiun televisi dimasuki unsur-unsur dari luar. "VR bagus karena mengangkat peradaban kita agar dipahami anak-anak," kata Pak Geria.
Menurut Pak Geria lagi, RV mampu mengemas aset menjadi media pembelajaran buat anak-anak dan masyarakat. Bahkan, katanya, soal erupsi, lingkungan, kebudayaan, dan arkeologi dari situs Liyangan akan memberi manfaat untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan dan Perbukuan Pak Totok Suprayitno mengharapkan arkeologi bisa berhubungan dengan pendidikan. "Proses pendidikan masa lalu bisa dilihat di Liyangan," katanya.
Menurut Pak Totok, arkeologi harus mengajarkan mereka memahami makna dan nilai. Otomatis mereka akan mencintai, memahami, dan tidak merusak. Bahkan, dengan virtual daya jelajah lebih luas, sehingga bisa memupuk pemahaman dan merajut kebangsaan/kebinekaan.