Beberapa waktu lalu saya sempat memilah buku-buku koleksi saya. Saya punya belasan lemari dan rak buku. Semuanya saya kumpulkan sejak 1980-an. Ada berbagai genre buku, seperti palmistri, astrologi, fengshui, sejarah, arsitektur, astronomi, dan iptek. Namun yang terbanyak berkenaan dengan arkeologi.
Buku-buku arkeologi tersebut saya peroleh dari berbagai pihak. Ada yang membeli di toko buku, ada yang membeli di pedagang buku bekas, dan ada pemberian dari teman-teman penulis. Yang terbanyak adalah buku-buku arkeologi dari sejumlah instansi arkeologi. Buku-buku tersebut saya peroleh secara gratis.
Kalau berbicara instansi arkeologi, ada cukup banyak instansi arkeologi dengan tugas dan fungsi berbeda. Ada lembaga pendidikan arkeologi, seperti UI, UGM, Unud, Unhas, Unja, dan Unhalu. Ada lembaga penelitian arkeologi, yakni Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dengan 10 UPT, yakni Balai Arkeologi (Balar).Â
Sampai saat ini ada 10 Balar tersebar di seluruh Indonesia, yakni Balar DI Yogyakarta, Balar Jawa Barat, Balar Bali, Balar Sumatera Utara, Balar Sumatera Selatan, Balar Kalimantan Selatan, Balar Sulawesi Utara, Balar Sulawesi Selatan, Balar Maluku, dan Balar Papua. Masing-masing Balar memiliki 3-4 wilayah kerja. Saat ini Puslit Arkenas berinduk pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan dan Perbukuan, Kemendikbud.
Selain itu ada lembaga pelestarian, yang pada awalnya bernama Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP). Sebelum nomenklatur baru pada awal 2020 lalu, namanya adalah Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit PCBM).Â
Dit PCBM memiliki sejumlah UPT yang disebut Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Saat ini ada 12 BPCB, yakni BPCB Aceh, BPCB Sumatera Barat, BPCB Jambi, BPCB Banten, BPCB DI Yogyakarta, BPCB Jawa Tengah, BPCB Jawa Timur, BPCB Bali, BPCB Sulawesi Selatan, BPCB Gorontalo, BPCB Kalimantan Timur, dan BPCB Maluku Utara. Ada lagi Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran dan Balai Konservasi Borobudur. Saat itu Dit PCBM berinduk pada Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud.
Sementara ini saya bicarakan dulu publikasi tentang penelitian arkeologi. Biasanya ada beberapa hal yang membuat arkeolog harus melakukan ekskavasi (penggalian arkeologis), yakni membuktikan hipotesis dan menambah data. Hasil-hasil penelitian arkeologi itu bisa dibaca lewat berbagai jurnal yang diterbitkan Puslit Arkenas dan Balar, termasuk Berita Penelitian Arkeologi.
Publikasi periodik instansi-instansi arkeologi itu umumnya diterbitkan 2 kali setahun. Hasil-hasil penelitian arkeologi memang harus sampai ke masyarakat. Sebagaimana diketahui, berbagai penelitian arkeologi itu dibiayai pajak rakyat melalui APBN. Jadi sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat, maka masyarakat pun harus mengetahui apa yang dilakukan para arkeolog. Kalau laporan hasil penelitian tertulis bisa dinikmati dalam bentuk publikasi, benda-benda arkeologinya bisa disaksikan lewat museum.
Meskipun ada berbagai publikasi hasil penelitian, namun bahasa dalam terbitan-terbitan itu masih sulit dimengerti masyarakat awam. Maklum, banyak istilah teknis di dalamnya. Memang dimaklumi karena jurnal bersifat ilmiah. Tulisan panjang dan banyak literatur menjadi ciri lain jurnal.