Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Akankah Bahasa Indonesia Tergusur oleh Bahasa Ngeblog atau Bahasa Medsos?

10 Oktober 2020   18:44 Diperbarui: 10 Oktober 2020   18:50 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis dengan bahasa formal (Dokpri)

Pada Kompasiana akhir Desember 2016, saya pernah menulis popularitas Bahasa Betawi akan menggantikan Bahasa Indonesia. Lihat [di sini].

Bahasa Indonesia formal atau baku memang sudah hampir ditinggalkan. Hanya generasi kolonial yang masih menggunakan bahasa ini. Bahasa Indonesia formal biasanya masih dijunjung oleh media-media cetak besar. Juga oleh media elektronik dan media cetak yang beralih ke media daring. Entah bagaimana nasib bahasa formal/baku seiring meredupnya media cetak dan media elektronik.

Bahasa nonformal

Seiring makin populernya internet, berkembang pula media daring. Bersamaan dengan itu, hadir weblog atau blog. Blog adalah halaman pribadi. Setiap orang bisa menulis dan langsung tayang. Syaratnya hanya membuat akun. Banyak orang semakin banyak membuat blog karena tidak ada biaya bulanan atau tahunan.

Tadinya blog hanya untuk mengungkapkan pengalaman pribadi. Namun lama-kelamaan dimanfaatkan untuk berbagai hal, seperti ilmu pengetahuan dan berdagang. Maklum, kalau menggunakan website atau laman, kita dikenakan biaya bulanan atau tahunan. Dengan hadirnya blog, lahirlah istilah jurnalistik warga. Sejak itu, menulis bukan hanya ranah para jurnalis. Bahkan tulisan para jurnalis warga sering dikutip jurnalis-jurnalis arus utama.

Sejak kehadiran blog, kita banyak memiliki penulis. Mereka sudah menghasilkan sejumlah buku. Banyak Kompasianer, misalnya, sudah mampu menerbitkan buku tentang berbagai tema. Saya sendiri pernah berpartisipasi dalam topik 'bioskop'.

Menulis dengan bahasa formal (Dokpri)
Menulis dengan bahasa formal (Dokpri)
Tanpa suntingan

Menulis di media cetak memang agak sulit. Kita harus menunggu antrean di meja redaksi. Sebaliknya menulis di blog, bisa langsung tayang. Itulah sebabnya banyak orang ingin mrngungkapkan perasaan lewat blog.

Namun karena tanpa suntingan, tentu saja bahasanya terlihat 'amburadul'. Umumnya generasi milenial dan generasi z sudah berani menulis. Selain di blog, mereka menulis di media sosial.

Saya membaca beberapa tulisan generasi milenial di blog. Isinya saya mengerti, meskipun ragam bahasa yang mereka gunakan beberapa macam. Sebagai misal kata saya atau aku. Mereka sering menulis gw, aq, akika, ai, ogut, eike, dan ana. Semua bermakna sama, namun ada yang berasal dari bahasa daerah dan ada dari bahasa asing. Itulah generasi milenial, kita maklumi.

Dengan demikian bahasa nonformal ini bisa dikatakan bahasa gaul, bahasa campursari, bahasa medsos, atau bahasa ngeblog.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun