Kalau tidak ada buku ini, mungkin kita tidak tahu yang namanya uang kertas Probolinggo. Pada 1990-an saya mendengar sepintas kalau kolektor Indonesia berhasil mendapatkan satu set uang kertas Probolinggo dari lelang internasional. Jangan ditanya harganya karena sangat aduhai.
Uang kertas Probolinggo terdiri atas enam nominal, yakni 100, 200, 300, 400, 500, dan 1000 ringgit atau rijksdaalders. Penanda tangan uang adalah M.W. van Hoesen dan J.C. Romswinkel.
Menurut buku ini, Oeang Noesantara (2015), di bidang agraria Gubernur Daendels mengeluarkan ketetapan baru yang sebelumnya tidak ada, yakni penjualan tanah partikelir. Uang yang diperoleh akan digunakan untuk menutupi kekurangan pembangunan dan pertahanan di Jawa. Kalau sebelumnya, tanah hanya boleh dimiliki oleh keturunan Eropa, tapi kali ini keturunan Timur Asing diperbolehkan.
Pada kunjungan 30 Juni 1810 ke Jawa Timur, Daendels setuju menjual tanah itu seharga 400.000 Real Spanyol kepada seorang mayor Cina di Probolinggo, Han Tjan Pit. Ia meneruskan usaha ayahnya, Han Boey Ko, yang memiliki hak penyewaan tanah perkebunan di Besuki dan Panarukan.
Namun karena ada masalah pada peredaran uang logam dan pembayaran secara tunai, maka Daendels menerbitkan kertas berharga atau nota kredit sesuai dengan nilai tanah yang dihipotikkan, yaitu sebesar 1.000.000 ringgit.
Tentu saja narasi menjadi penting. Apalagi, Untoro atau Uno, penulis buku ini seorang kolektor senior (numismatis) yang senang membaca buku-buku sejarah.
Bertahun-tahun ia habiskan waktu untuk menyelesaikan buku ini. Buku karyanya itu memiliki ketebalan 520 halaman, dilengkapi gambar dan kisah tentang uang-uang kertas yang pernah beredar di Nusantara. Dimulai dari masa kolonial hingga masa De Javasche Bank. Lanjut masa Republik Indonesia dan Bank Indonesia. Dari masa revolusi fisik 1945-1949, Uno menampilkan uang kertas yang disebut ORI, ORI Baru, dan ORIDA. ORI singkatan dari Oeang Repoeblik Indonesia yang kemudian menjadi URI. Sementara tambahan DA berarti Daerah. Ada berbagai jenis uang daerah, seperti coupon penukaran, bon contan, dan mandat.
ORIDA dikeluarkan pada masa 1947-1949 karena tentara Belanda yang ingin berkuasa kembali memblokade banyak daerah di Jawa dan Sumatera. Akibatnya pemerintah pusat mengizinkan kabupaten, karesidenan, dan kawedanaan mengeluarkan uang darurat. Dulu alat cetak sangat sederhana. Kertas yang digunakan pun seadanya, seperti kertas tulis, kertas stensil, dan kertas kopi.
Dalam buku ini ada 37 orang penyumbang gambar dan informasi. Jelas kerja gotong royong amat diperlukan untuk kelengkapan buku ini.