Pemalsuan uang sudah terjadi sejak lama di seluruh dunia. Ada dua kepentingan terhadap pemalsuan uang, yakni politik dan ekonomi. Untuk kepentingan politik, misalnya, dilakukan kaum pemberontak untuk menggoyang pemerintahan yang sah. Contoh untuk kepentingan ekonomi, oknum atau sekelompok orang ingin mencari keuntungan finansial sebesar-besarnya.
Di Indonesia, pemalsuan uang juga sudah berlangsung lama. Bahkan terjadi sebelum proklamasi 1945. Adanya pemalsuan atau ancaman buat pemalsu uang, biasanya dicantumkan pada bagian belakang uang kertas. Tentu saja pemalsu akan dikenakan hukum pidana berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Puncak pemalsuan di Indonesia terjadi masa 1947-1949. Pada masa itu terjadi agresi militer I dan II oleh Belanda. Karena ada blokade di mana-mana, maka pemerintah yang sah memberikan wewenang kepada daerah di Jawa dan Sumatera untuk mencetak uang sendiri. Uang darurat itu disebut ORIDA, Oeang Repoeblik Indonesia Daerah. ORIDA memiliki berbagai nama seperti coupon penukaran, mandat, mandat istimewa, dan bon.
ORIDA dicetak seadanya, antara lain menggunakan kertas sederhana dengan kualitas cetak amat minim. Ada yang dicetak satu muka, ada pula dua muka. Akibat berkualitas seadanya, ORIDA mudah dipalsukan.
Di kalangan kolektor uang atau numismatis, uang palsu yang dikeluarkan pada masa lampau disebut dengan istilah old fake atau palsu lama. Sebaliknya, mata uang palsu yang dibuat untuk kepentingan ekonomi disebut new fake atau palsu baru. Banyak numismatis mengoleksi uang palsu sebagai bahan pembelajaran. Â
Di Nusantara pernah berlaku uang kertas Nederlandsch-Indie, pendudukan Jepang, dan De Javasche Bank. Pada bagian belakang terdapat undang-undang tentang pemalsuan uang. Malah pada uang De Javasche Bank, undang-undang seperti itu ditulis dalam empat bahasa, yakni Arab, Jawa, Mandarin, dan Belanda. Bahasa Melayu rupanya belum populer.
Pada masa berikutnya, yakni pada uang kertas bertuliskan Republik Indonesia dan Bank Indonesia, peringatan untuk pemalsu uang tetap dituliskan pada bagian belakang dengan huruf kecil. Namun masyarakat tidak pernah jera. Pemalsuan masih tetap ada, terutama dengan hadirnya teknologi digital dan printer canggih.
Selama bernilai ekonomis, dipastikan pemalsuan uang masih tetap ada. Ini seperti halnya SMS minta pulsa atau SMS mendapatkan hadiah. Masih banyak masyarakat tetap terkecoh. Untuk itu kita harus waspada.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H