Dulu ketika masih duduk di bangku SMA setiap bulan saya membeli Majalah Sahabat Pena (SP) di kantor pos yang saya lewati. Maklum, setiap pulang sekolah saya melewati kantor pos Jatinegara. Sampai sekarang koleksi majalah ini masih saya simpan. Saya amati, koleksi saya yang tertua bernomor 60, Oktober 1976.
Majalah SP berukuran seperti buku tulis. Tebalnya 64 halaman, termasuk sampul. Harganya Rp 50. Waktu itu teknologi belum berkembang, jadi masih hitam putih. Majalah tersebut saya beli dengan menyisihkan uang jajan saya.
Pertama kali Majalah SP diterbitkan oleh Humas PN Pos dan Giro, kemudian menjadi PT Pos Indonesia (Persero) pada 1970. Target pembaca adalah remaja di seluruh Indonesia.
Tujuan diterbitkannya Majalah SP adalah turut serta mengembangkan generasi muda terkait dengan kegiatan filateli, ilmu pengetahuan, dan sarana bagi remaja Indonesia yang tertarik untuk bersahabat pena. Dulu bersahabat pena atau berkorespondensi sangat digandrungi remaja Indonesia. Soalnya, selain mendapat sahabat baru juga mendapat prangko. Sepertinya ada rasa tidak sabar menunggu balasan surat perkenalan kita. Bisa berhari-hari balasan akan diterima.
Majalah SP memiliki beragam rubrik, antara lain Pengetahuan Populer, Tokoh, Taman Philateli, Bertamasya ke Kota, Bimbingan Mental, Pengalaman, Konsultasi Remaja, Pelajaran Bahasa Inggris, Berita PSPI (Perhimpunan Sahabat Pena Indonesia), Cerpen, Kontak Sahabat, dan TTS.
Setelah lama tidak beli, pada 1980 ketika berkunjung ke Kantor Pos Cikini, saya lihat Majalah SP masih ada, namun berukuran lebih besar dengan wajah baru. Harganya pun menjadi Rp 125. Rupanya majalah ini masih terbit setiap bulan.
Lama sekali saya tidak melihat Majalah SP. Tiba-tiba saya ingin mengetahuinya. Segera saya buka mesin pencari. Ternyata ada blognya [DI SINI].  Namun setelah edisi 2015, belum ada pembaruan lagi. Apakah kemudian Majalah SP tutup, entahlah. Kemungkinan besar kini Majalah SP tinggal nama terdesak dunia digital. Saat-saat itu memang dunia digital mulai menjadi raja. Jangan heran banyak media konvensional perlahan-lahan tutup dan sekarat.
Dunia literasi kini beralih ke dunia digital. Namun edisi cetak lebih abadi karena mampu bertahan lama. Dunia digital akan cepat hilang, seperti halnya perubahan cepat dari disket besar, disket kecil, compact disc, hingga flash disk.***