Menulis adalah pekerjaan intelektual. Tidak banyak orang bisa menulis di media cetak. Ini karena menulis di media cetak menggunakan bahasa formal atau bahasa baku. Selain itu, menulis di media cetak harus melewati 'rintangan' redaksi. Jika dipandang menarik, tulisan yang kita kirim itu akan dirapatkan terlebih dulu.
Jika redaksi kurang suka dengan tulisan kita, maka tulisan itu akan dikembalikan. Lolos dari rapat redaksi, barulah redaktur bidang akan menyunting tulisan kita. Bagian terakhir, tulisan kita akan diterbitkan. Beberapa hari setelah terbit, kita akan menerima honorarium.
Menulis populer menggunakan bahasa koran, begitulah istilahnya. Tidak banyak orang yang mampu menulis populer. "Tulisan saya dikembalikan melulu," begitu kata seorang rekan yang bergelar doktor. Memang kelas doktor atau profesor sekali pun belum tentu akan lolos. Materi mungkin oke, tapi biasanya gaya bahasa yang menjadi masalah. Tulisan para ilmuwan terlalu banyak istilah teknis atau istilah asing. Padahal media cetak merupakan media umum yang dibaca oleh segala lapisan masyarakat. Bahasa dalam media cetak tentu saja beda dengan bahasa pada jurnal atau media ilmiah.
Bahasa dalam media cetak beda dengan bahasa media daring, apalagi blog pribadi atau platform blog seperti Kompasiana. Bahasa dalam blog adalah bahasa nonformal atau nonbaku. Atau bisa juga disebut bahasa sehari-hari. Siapa saja boleh menulis, meskipun dalam gaya bahasa yang berbeda-beda. PUEBI atau Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia tidak begitu diperhatikan. Akibatnya banyak kesalahan redaksional, termasuk tanda baca.
Sayang, bahasa baku kini hanya menjadi nostalgia buat saya. Maklum sekarang saya jarang menulis di media cetak. Paling-paling di media daring meskipun dengan honorarium kecil.
Dulu semasa kuliah, saya sering menulis di media cetak. Bahkan pada masa-masa kemudian sampai sekarang. Saya menulis di media cetak mungkin mulai 1981. Sayang saya belum menemukan tulisan saya yang paling awal. Maklum, ketika kuliah saya hanya membaca di perpustakaan. Saat itu belum ada terbersit membuat kliping.
Barulah setelah berlangganan, tentu dari uang honorarium, saya mengkliping tulisan-tulisan saya. Mulai dari 1983, sebagaimana kumpulan tulisan yang sudah dijilid. Melihat-lihat kliping tentu saja pikiran menerawang ke masa lalu.
Saya pernah menulis tentang Abu Ridho, kurator keramik dari Museum Nasional. Abu Ridho bertaraf internasional. Ia pernah menjadi kurator tamu di Museum Swedia. Membaca kisahnya, kita pasti akan terinspirasi atau membuka mata kita bahwa dengan gaji kecil, Abu Ridho akan terkenal.
Saya juga pernah menulis tokoh Boechari. Beliau adalah dosen di Jurusan Arkeologi UI. Keahliannya membaca prasasti---ilmu yang mempelajari bahasa dan aksara kuno---sangat luar biasa. Ia pernah mengeluh kekurangan tenaga epigraf (ahli membaca prasasti). Padahal, prasasti yang perlu dibaca, termasuk dibaca ulang, masih sangat banyak.
Pada 1986 saya pernah menulis soal harta karun yang dicuri dari perairan kita oleh sindikat internasional. Benda-benda itu berasal dari kapal kargo kuno yang tenggelam. Hasil lelang di mancanegara menghasilkan jutaan dollar. Ironisnya, kita sendiri tidak kebagian apa-apa termasuk koleksi yang berharga untuk museum.