Pemerhati dan Pencinta Sejarah akan dipermalukan luluh lantak menyaksikan Prasasti Besole. Namun jangan mudah menyalahkan pemilik lahan, ataupun salah siapa. Mari kita bergerak sedikit untuk perlindungan artefak klasik. Begitu tulis Doni Wicaksonojati dalam akun Facebook (FB)-nya.
Nama Mas Doni saya kenal lewat FB beberapa tahun lalu. Ia bukan arkeolog atau sejarawan, namun perhatiannya kepada dunia pelestarian arkeologi sangat besar. Soalnya, ia tinggal di Kediri. Di kota ini banyak terdapat tinggalan purbakala. Karena itu ia mendirikan Komunitas Tapak Jejak Kadhiri.
Mas Doni juga aktif di gerakan literasi. Ia punya gerai baca. Tentu saja buku-bukunya berkenaan dengan sejarah, arkeologi, dan budaya. Saya sering mendukung kegiatan Mas Doni dengan mengirim buku-buku terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sesama komunitas memang seharusnya saling gotong royong meskipun dengan biaya pribadi.
Saya yang arkeolog juga gerak di Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI). Banyak generasi milenial terlibat di KPBMI. Aktivitas KPBMI dengan slogan sepurmudaya: sejarah, purbakala, museum, budaya, baru terbatas di Jakarta lewat kegiatan yang bersifat edukasi dan publikasi.
Dengan Mas Doni saya sering berkomunikasi lewat FB atau WA. Saya baru sekali bertemu langsung saat acara Kongres Kebudayaan Indonesia akhir 2018.
Sebenarnya saya pernah menulis soal Prasasti Besole tiga tahun lalu. Sampai saat ini memang masih banyak prasasti kuno berada di dekat kandang, sawah, dan pekarangan warga. Mungkin karena beratnya ratusan kilogram, jadi ada sedikit rasa aman.Â
Padahal, prasasti akan tergerus oleh cuaca sehingga aksaranya bisa aus bahkan hilang. Seharusnya dipindahkan ke dalam museum atau apa pun namanya. Di tempat asli dibuatkan prasasti replika saja berikut informasi tentang prasasti tersebut. Silakan lihat artikel tersebut [DI SINI].
Menurut Mas Doni, Prasasti Besole merupakan salah satu aset penting bagi kesejarahan Kota Kediri khususnya dan tentunya Nusantara karena menjadi bukti otentik keberadaan rangkaian benang dari sejarah klasik masa Hindu-Buddha. Prasasti ini telah tercatat dalam inventaris instansi arkeologi. Soalnya, di badan prasasti ada nomor registrasi.
"Kami mencoba mengetuk koneksi dari persaudaran pemerhati, bagaimana kalau kita adakan donasi---pengumpulan  semau dan semampunya guna pembikinan cungkup pelindung. Salam watu lawas," demikian ajakan Mas Doni di FB.Â
Sontak ajakan tersebut mendapat reaksi cepat. "Doni Wicaksonojati kalau gak sampean memulai, gak akan pernah ada perubahan. Iku butuh semen, pasir, asbes n paku ro kayu, plus sedikit hiasan untuk atap pelindung," kata Arif.
Seorang penggiat budaya Kediri, Novi Bmw, ikut berkomentar. "Dikalkulasi dulu kira-kira butuh berapa rupiah anggarannya, ntar open donasi. Kalau lebih ntar bisa buat program pencungkupan artefak lain. Aq dukung, tp ditata biar gak jumpalitan nanti di belakang hari," demikian komentar Mas Novi.
Seperti halnya Mas Doni, saya juga baru sekali ketemu Mas Novi ketika ia ada acara di Depok.
Sementara ini prasasti tersebut ditutup plastik. Namun ada komentar kalau bisa jangan ditutup plastik karena sifat plastik itu panas. Batu yang terpapar banyak panas, mudah lapuk. Lalu akan menyisakan juga perubahan warna, antara yang tertutup plastik dan yang terpapar matahari langsung.
Komentar lain di FB, untuk sementara bikinkan ae tiang dari bambu, atapnya daun kelapa. Gotong royong sedulur yang tergerak bareng tandang gawe.
Solidaritas komunitas demi pelestarian cagar budaya atau tinggalan purbakala, sudah berlangsung sejak lama. Tanpa bantuan komunitas, pemerintah pasti akan kewalahan. Semoga apa yang dilakukan Komunitas Tapak Jejak Kadhiri dan Komunitas Asta Gayatri di Tulungagung mendapat berkah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H