Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa Indonesia Berasal dari Prasasti Masa Kerajaan Sriwijaya

19 Juli 2020   13:37 Diperbarui: 19 Juli 2020   13:28 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atas: Pak Samuel (kiri) dan Pak Fuadi (kanan); Bawah: Ibu Musiana (kiri) dan Pak Rahmat (kanan)/Dokpri

Webinar hari kedua menyambut 92 tahun Sumpah Pemuda berlangsung pada Minggu, 19 Juli 2020 pagi hari. Penyelenggara kegiatan tetap Museum Sumpah Pemuda. Museum yang beralamat Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, ini memang lekat dengan Kongres Pemuda 1928 yang menghasilkan beberapa hal penting, di antaranya bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia.

Kegiatan webinar dibuka oleh Kepala Museum Sumpah Pemuda Ibu Titik Umi Kurniawati. Melanjutkan tema kemarin tentang Generasi Muda, hari ini tema yang dipilih Bahasa Indonesia. Tampil sebagai pembicara Pak Samuel Wattimena, Pak Ahmad Fuadi, dan Ibu Musiana Yudhawasthi dengan moderator Pak Rahmat Fajar.

Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat (Foto: Museum Sumpah Pemuda)
Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat (Foto: Museum Sumpah Pemuda)
Pemersatu

Pak Samuel yang berbicara pertama merasa bangga dengan Bahasa Indonesia. Soalnya dari 719 bahasa daerah, Bahasa Indonesia menjadi alat pemersatu. Dengan bahasa persatuan timbul rasa kebangsaan. Bagi bangsa Indonesia, katanya, bahasa Indonesia merupakan identitas. Karena itu pengenalan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu, harus diperkenalkan sejak dini, yakni dari komunitas terkecil atau keluarga.

Pak Fuadi, yang dikenal sebagai novelis, memandang bahasa Indonesia terdiri atas bahasa baku dan bahasa gaul. Bahasa baku dikenal sebagai bahasa formal, yang penulisannya sesuai dengan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Patokan utamanya berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Bahasa gaul merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan para remaja di media sosial. Bahkan, kata Pak Fuadi, ada bahasa campur sari, yakni campuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing.

Media cetak, daring, radio, dan televisi sering kali menjadi rujukan bagaimana agar masyarakat berbahasa yang baik. Menurut Pak Fuadi, BBC (Radio Inggris, pen.) termasuk media yang baik dalam berbahasa. Begitu pula buku, film, dan musik, memiliki pengaruh yang luas dalam berbahasa.

Pengaruh bahasa, menurut Pak Fuadi, terkadang dahsyat. Maklum Pak Fuadi banyak menulis. Sebentar lagi novelnya Negeri Lima Menara, akan diterbitkan dalam bahasa Melayu di Malaysia. Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia memang berakar dari bahasa yang sama. Namun kemudian terjadi perkembangan dan berjalan masing-masing.

Atas: Pak Samuel (kiri) dan Pak Fuadi (kanan); Bawah: Ibu Musiana (kiri) dan Pak Rahmat (kanan)/Dokpri
Atas: Pak Samuel (kiri) dan Pak Fuadi (kanan); Bawah: Ibu Musiana (kiri) dan Pak Rahmat (kanan)/Dokpri
Sejarah

Ibu Musiana memaparkan sedikit tentang sejarah bahasa Indonesia. Dulu dikenal bahasa Kunlun sebagai bahasa resmi Kerajaan Sriwijaya. Mungkin sebagai bahasa perdagangan. Seingat saya bahasa Kunlun pernah disebut Yijing atau I-tsing. Pada masa kemudian bahasa Kunlun menjadi bahasa Melayu Kuno. Beberapa prasasti atau batu tertulis dari masa Sriwijaya, sekitar abad ke-7 Masehi, dipakat menggunakan bahasa Melayu Kuno.

Berbagai sumber menyebutkan bahasa Melayu berkembang di Pulau Penyengat, sekarang di Kepulauan Riau (Kepri). Pelopornya adalah Raja Ali Haji. Ia menulis naskah Gurindam 12.

Pada Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag, Belanda, 28 Agustus 1916, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Setelah itu, pada Kongres I Pemuda Indonesia 2 Mei 1926 muncul dua pendapat untuk nama bahasa nasional Indonesia. M. Yamin mengusulkan nama Bahasa Melayu, sebagaimana nama asalnya, sedangkan M. Tabrani mengusulkan nama baru untuk bahasa itu yaitu Bahasa Indonesia. Begitu informasi yang saya baca dari Antara.

Buku babon Kamus Besar Bahasa Indonesia (Foto: republika.co.id)
Buku babon Kamus Besar Bahasa Indonesia (Foto: republika.co.id)
Bahasa Indonesia sendiri kemudian sangat kaya raya karena dipengaruhi berbagai bahasa asing. Ini tidak terbantahkan. Justru untuk memperkaya khasanah sejarah kita. Bendera dan jendela, misalnya, berasal dari bahasa Portugis. Loteng dan lonceng berasal dari bahasa Tionghoa. Ini hanya contoh kecil. Belum lagi pengaruh bahasa Arab, Belanda, Inggris, dan sebagainya.

Sebaliknya, hanya sedikit kata-kata Indonesia yang diambil bahasa asing. Sampai sekarang banyak negara mengenal kata bambu dengan bamboo dan orangutan.

Nah, buat generasi muda, mari kita gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hindari kata-kata asing, seperti kata Ibu Musiana tadi, kalau generasi muda lebih mengenal kata donlod dan posting. Ayo kita ganti ke dalam bahasa Indonesia.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun