Kepergiannya begitu mendadak pada 4 Januari 2020. Padahal beberapa hari sebelumnya saya sempat bertemu dengan beliau pada acara di Museum Nasional. Malah sehabis acara, saya ditraktir nasi goreng kambing di kantin sebelah Museum Nasional.
Trigangga, begitulah nama beliau. Sering disapa dengan Pak Gangga atau Pak Tri. Ia pensiun dari Museum Nasional per 1 Mei 2018. Maklum, beliau kelahiran 11 April 1960.
Gangga masuk arkeologi pada 1979. Ia senang arkeologi karena berasal dari Jurusan Bahasa sewaktu SMA. Nilai Bahasa Jawa Kunonya tinggi.
Di Jurusan Arkeologi UI ia mengambil spesialisasi epigrafi. Epigrafi adalah ilmu yang mempelajari prasasti, yakni tulisan kuno yang terdapat pada batu atau media lain seperti tembaga, perunggu, dan emas.
Seusai lulus pada 1986, ia memulai karier di Museum Nasional. Di sana ia menekuni keahliannya itu, epigrafi. Museum Nasional memang banyak memiliki prasasti. Umumnya berbahasa Jawa Kuno. Nah, Gangga sering membaca ulang prasasti-prasasti yang sudah dibaca oleh epigraf-epigraf sebelumnya. Maklum mereka umumnya berkebangsaan Eropa, sehingga memungkinkan perbedaan penafsiran.
Selain epigrafi, Gangga pernah menangani numismatik atau uang-uang kuno. Apalagi beberapa prasasti mengungkapkan jenis mata uang yang berlaku saat itu. Kloplah, dunia epigrafi berkaitan dengan dunia numismatik.
Saya pernah menulis tentang Gangga dan prasasti [DI SINI].
Banyak hal baru terungkap lewat penelitian epigrafi. Gangga merinci unsur-unsur penanggalan dalam prasasti, yakni warsa, masa (bulan lunar), samkranti (bulan solar), tithi & paksa, nama tithi, karana, wara, wuku, naksatra & dewata, yoga, grahacara, mandala, parwwesa, rasi, dan muhurta. Maaf yah, kata-kata yang tertulis tidak memakai tanda diakritik. Â
Lewat unsur-unsur itulah, Gangga berupaya mencari pertanggalan prasasti. Maklum ada prasasti yang memang tidak mencantumkan pertanggalan. Ada yang mencantumkan pertanggalan tapi sudah aus atau rusak dimakan usia. Gangga berupaya menggali sampai unsur waktu sekecil-kecilnya, yakni jam.