Entah bagaimana awalnya, uang kertas Rp 100 berwarna merah menjadi terkenal. Uang kertas itu pertama kali dicetak pada 1992 dengan gambar utama perahu phinisi. Dari variasi tahun, uang itu dicetak pada 1992 hingga 1999. Pada 2016 uang itu ditarik dari peredaran.
Oleh masyarakat awam, uang yang tidak berlaku lagi itu disebut 'uang kuno'. Mulai 2017 'uang kuno' tersebut dijual di toko online. Ada yang memasang harga Rp 2.000 sampai Rp 3.000 selembar.Â
Bahkan ada yang menjual gepokan isi 100 lembar dengan harga Rp 150.000 sampai Rp 200.000. Harga itu tergolong wajar. Ada juga yang memasang harga Rp 50.000 sampai Rp 900.000. Wow, tentunya.
Sampai sekarang kepopuleran uang kertas Rp 100 masih terjadi di masyarakat. Lihat saja berbagai tulisan di media cetak dan media online, yang menganggap 'uang kuno' berharga mahal bahkan fantastis. Â
Selain di toko online, situs berbagi video juga banyak memuat tayangan tentang 'uang kuno', yang tentu saja 'mengacaukan' dunia numismatik.Â
Tayangan yang mereka buat mampu menyedot puluhan ribu hingga ratusan ribu pengakses. Ironisnya, tayangan yang dibuat sejumlah numismatis hanya mampu menyedot ribuan hingga belasan ribu pengakses.
Rupa-rupanya masyarakat awam lebih percaya kepada 'numismatis abal-abal' daripada kepada numismatis sungguhan. Salah satu dampaknya yah itu, masyarakat awam menawarkan koleksi dengan harga di luar akal sehat.
Begitu juga yang terjadi pada media sosial. Banyak grup jual beli uang kuno dan sebagainya, hanya diisi masyarakat awam yang menawarkan koleksinya. Dijual uang kuno, harting angkut; dimaharkan uang kuno warisan kakek; uang kuno nemu di kuburan, silakan tawar; dan berbagai kalimat lain yang menandakan mereka belum paham akan 'uang kuno'.
Pasti para numismatis akan mengernyitkan dahi kalau yang masyarakat awam posting itu kondisinya amburadul, seperti sudah ada lipatan, sobek kecil, bernoda, ujung kertas hilang, gripis, dan sebagainya. Di kalangan numismatis disebut 'koleksi tidak layak' atau 'grade rendah'.