Pada 1970-an saya mulai mengenal kegiatan surat-menyurat atau korespondensi. Hampir setiap minggu saya melakukan kegiatan itu. Karena setiap pulang sekolah, saya melewati kantor pos, biasanya saya membeli perangko beberapa buah.Â
Kalau tidak langsung ke kantor pos, saya memasukkan surat berperangko ke dalam bis surat yang ada dekat sekolah saya. Dulu kegiatan korespondensi dengan sahabat pena banyak disukai remaja Indonesia.
Bis surat adalah semacam rumah kecil berbentuk segi empat. Biasanya berwarna oranye. Pada bagian muka terdapat lubang untuk memasukkan surat atau kiriman lain. Kunci bis surat dipegang oleh petugas pos. Ia akan mengambil isi bis surat sesuai jadwal.
Bis surat memiliki berbagai bentuk. Biasanya di depan kantor pos besar, bis surat pun masih berbentuk tinggi besar. Maklum peninggalan zaman Belanda. Di area publik, bis surat sering ditempatkan di tempat-tempat strategis, seperti dekat sekolah, pasar, atau alun-alun.
Pada 1990-an saya masih memanfaatkan bis surat. Selain TTS, saya sering mengirim artikel ke beberapa media cetak. Ketika itu bis surat ada di jalan raya, ada juga dekat pasar.
Selain bis surat, dulu ada mobil pos keliling. Saya sering membeli perangko dan mengirim surat dari sini. Bahkan kemudian mobil pos ini menjadi tempat pembayaran listrik, air bersih, dan telepon.
Sayang, sejak berkembangnya teknologi komunikasi berupa telepon selular yang juga bisa SMS, masyarakat jarang berkirim surat lagi. Akibatnya bis surat ditinggalkan masyarakat. Lambat-laun bis surat terbengkalai, bahkan akhirnya dicopot.
SMS memang begitu cepat mengirim dan menerima berita, seperti halnya teknologi yang berkembang kemudian: media sosial. Saat ini beberapa bentuk bis surat bisa dinikmati di Museum Pos dan sejenisnya.
Sama seperti bis surat, dulu telepon umum banyak berjasa dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Telepon umum yang pertama dikenal berupa telepon umum koin. Kalau tidak salah tarif awalnya adalah Rp 25 per 3 menit.Â