Rumah Peradaban Balai Arkeologi Jawa Barat diperkenalkan di Jakarta, tepatnya di Museum Kebangkitan Nasional pada 18-19 Oktober 2019. Kegiatan itu diawali sambutan Kepala Balai Arkeologi Jawa Barat, Pak Deni Sutrisna.
Rumah Peradaban merupakan media fasilitasi penelitian dan pengembangan arkeologi untuk lebih mendekatkan arkeologi dengan masyarakat.Â
Lebih jauh  Rumah Peradaban merupakan sarana edukasi dan pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi untuk memberikan pemahaman tentang sejarah dan nilai budaya masa lampau dalam upaya melek budaya, pencerdasan bangsa, penumbuhan semangat kebangsaan, dan sumber inspirasi bagi pengembangan budaya yang berkepribadian.Â
Rumah Peradaban DKI Jakarta 2019 ini diikuti oleh 100 guru MGMP Sejarah dari SMA, SMK, dan MA Provinsi DKI Jakarta. MGMP singkatan dari Musyawarah dan Guru Mata Pelajaran.
Kegiatan Rumah Peradaban dengan tagline mengungkap, memaknai, mencintai diisi pemaparan empat narasumber dalam dua sesi. Sesi pertama diisi oleh Pak Bondan Kanumoyoso, seorang sejarawan dari FIB UI. Ia mengungkapkan sejarah perkembangan Jakarta.
Berikutnya Pak Iwan Hermawan. Ia mengungkapkan soal penulisan dan terbitan jurnal ilmiah. Cara penulisan daftar referensi, menghindari plagiat, cara membuat kata kunci, dan masalah kepenulisan lain diceritakan Pak Iwan.
"Kata kunci yang baik bukan terdiri atas satu kata tapi 3-5 kata," kata Pak Iwan. Misalnya kalau kita tulis Indonesia maka akan banyak sekali yang akan keluar, demikian Pak Iwan memberi contoh.
Balai Arkeologi Jawa Barat memiliki wilayah kerja di empat provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Lampung. Karena itulah DKI Jakarta pernah diteliti oleh Balai Arkeologi Jawa Barat.Â
Penelitian pertama dilakukan pada 2007 berupa identifikasi dan pendataan bangunan kolonial di kota tua Jakarta. Penelitian terakhir dilaksanakan pada 2012 tentang pengelolaan situs kota tua Jakarta.
Dari penelitian tersebut, menurut Pak Octaviadi, gudang PALAD diketahui telah amburadul. Begitu pula dalam pembangunan terowongan bawah tanah stasiun Kota. Jadi data arkeologi yang tersisa tidak bisa diketahui masyarakat. Hanya cerita dan fotonya yang diwariskan kepada generasi masa kini dan mendatang.