Pada awalnya ada 258 toko dan penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Cita-citanya pun muluk, seperti memberikan harga murah, meningkatkan minat baca, dan menurunkan pajak kertas. Saya beberapa kali ke PBI. Maklum, rumah saya cukup dekat ke sana. Biasanya saya memakai sepeda.
Awal 2011 PBI terlihat mulai sepi. Mungkin karena pedagang komputer yang tadinya menempati lantai 2 pindah ke ITC Cempaka Mas. Lama-kelamaan terlihat tidak ada lagi aktivitas di lantai 3 itu.
Rupanya ada beberapa kendala membuka toko buku. Â Menurut pengalaman, kedua anak saya dari SD hingga SMA selalu membeli buku lewat sekolah.Â
Jelas, penerbit langsung menjual ke sekolah. Pasti dengan komisi lumayan untuk kesejahteraan para guru. Ironisnya, buku-buku yang dipakai cepat sekali berganti. Paling-paling 1-2 buku yang bisa dipakai sang adik, padahal cuma beda dua kelas dan pada sekolah yang sama.
Hadirnya toko-toko buku besar juga menghancurkan pedagang kecil. Bahkan kini dengan kemajuan teknologi, transaksi bisa dilakukan lewat internet.Â
Selain itu banyak buku sudah dibuat dalam bentuk digital atau PDF. Kini banyak pedagang buku bekas menjajakan barang lewat media sosial.
Pemilik toko buku kecil dan keluarganya tentu butuh penghasilan. Menurut saya, buku-buku dalam bentuk fisik tetap diperlukan. Mari kita galakkan gerakan literasi.Â
Membaca, menulis, melihat dunia, sekaligus mencerdaskan. Rasanya toko buku perlu dipadupadankan dengan restoran, kafe, atau aktivitas masyarakat yang murah meriah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H