Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nasib Toko Buku Kecil dan Gerakan Literasi

21 Agustus 2019   09:37 Diperbarui: 21 Agustus 2019   12:39 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar buku murah Jakbook di Pasar Kenari (Foto: kompas.com)

Pusat Buku Indonesia pernah ada di KTC Kelapa Gading (Foto: gandhi-purwanto.blogspot.com)
Pusat Buku Indonesia pernah ada di KTC Kelapa Gading (Foto: gandhi-purwanto.blogspot.com)
Saya tidak tahu apakah JBC kalah bersaing dengan Pusat Buku Indonesia (PBI) di lantai 3 Gedung Kelapa Gading Trade Centre (KTC). KTC terletak di Jalan Bulevar Barat, di sebelah kiri jalan kalau kita dari arah Kelapa Gading menuju Sunter. PBI diresmikan pada 30 Mei 2008 oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.   

Pada awalnya ada 258 toko dan penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Cita-citanya pun muluk, seperti memberikan harga murah, meningkatkan minat baca, dan menurunkan pajak kertas. Saya beberapa kali ke PBI. Maklum, rumah saya cukup dekat ke sana. Biasanya saya memakai sepeda.

Awal 2011 PBI terlihat mulai sepi. Mungkin karena pedagang komputer yang tadinya menempati lantai 2 pindah ke ITC Cempaka Mas. Lama-kelamaan terlihat tidak ada lagi aktivitas di lantai 3 itu.

Toko buku dilengkapi kafe (Foto: kompas.com)
Toko buku dilengkapi kafe (Foto: kompas.com)
Kendala

Rupanya ada beberapa kendala membuka toko buku.  Menurut pengalaman, kedua anak saya dari SD hingga SMA selalu membeli buku lewat sekolah. 

Jelas, penerbit langsung menjual ke sekolah. Pasti dengan komisi lumayan untuk kesejahteraan para guru. Ironisnya, buku-buku yang dipakai cepat sekali berganti. Paling-paling 1-2 buku yang bisa dipakai sang adik, padahal cuma beda dua kelas dan pada sekolah yang sama.

Hadirnya toko-toko buku besar juga menghancurkan pedagang kecil. Bahkan kini dengan kemajuan teknologi, transaksi bisa dilakukan lewat internet. 

Selain itu banyak buku sudah dibuat dalam bentuk digital atau PDF. Kini banyak pedagang buku bekas menjajakan barang lewat media sosial.

Pemilik toko buku kecil dan keluarganya tentu butuh penghasilan. Menurut saya, buku-buku dalam bentuk fisik tetap diperlukan. Mari kita galakkan gerakan literasi. 

Membaca, menulis, melihat dunia, sekaligus mencerdaskan. Rasanya toko buku perlu dipadupadankan dengan restoran, kafe, atau aktivitas masyarakat yang murah meriah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun