Boleh dibilang Agustus merupakan bulan perjuangan bagi bangsa Indonesia. Banyak museum mengadakan acara pada bulan ini. Menyambut perayaan 74 tahun kemerdekaan Indonesia, sekaligus 43 tahun Museum Seni Rupa dan Keramik, maka Museum Seni Rupa dan Keramik ikut menyemarakkan semangat perjuangan lewat pameran lukisan.Â
Museum Seni Rupa dan Keramik berawal dari peresmian gedung pengadilan zaman kolonial itu menjadi Balai Seni Rupa pada 20 Agustus 1976.
Museum Seni Rupa dan Keramik berlokasi di kawasan Kota Tua Jakarta, tidak jauh dari stasiun kereta api Jakarta Kota. Museum ini memiliki banyak koleksi lukisan, terutama dari masa perjuangan, bahkan masa-masa sebelumnya.Â
Nama Raden Saleh, tentu tidak asing bagi masyarakat perupa. Begitu juga Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono.
Museum Seni Rupa dan Keramik tentu saja berupaya menjadikan museum sebagai jendela seni rupa Indonesia. Sebagian koleksi museum merupakan karya penting dari para maestro seni rupa yang menggambarkan fase perjalanan bangsa Indonesia, terutama pada masa revolusi.Â
"Sebagai upaya meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap peran penting para perupa dalam merekam jejak perjuangan di atas kanvas maupun goresan sketsanya dilandasi semangat juang," begitu kata Ibu Esti Utami ketika membuka pameran bertajuk "Revolusi: Fisik-Diplomatik-Estetik".
Pameran dibuka pada 8 Agustus 2019 dan akan berlangsung hingga 31 Agustus 2019. Pameran diisi sejumlah koleksi unggulan, sebagaimana dikemukakan kurator pameran Bapak Eddy.Â
Dalam pengantarnya Pak Eddy mengemukakan pameran lukisan pertama diadakan pada 1946 yang dibuka langsung oleh Presiden Sukarno. Bahkan ketika itu Sukarno sangat terkesan oleh lukisan Hendra Gunawan yang menampilkan orang-orang kurus kering.
Ingat nama Henk Ngantung (1921-1991)? Beliau pernah menjabat Walikota Jakarta Raya yang sekarang setingkat gubernur. Ternyata beliau seorang seniman. Karya-karya sketsanya ikut dipamerkan, di antaranya tentang Hotel Linggarjati yang sekarang sudah tidak ada lagi.Â
Pak Henk rupanya menghasilkan sketsa dari perundingan Linggarjati, antara lain dengan obyek pengawal TRI (Tentara Republik Indonesia), tokoh-tokoh Indonesia, dan tokoh-tokoh Belanda.Â
Menurut Pak Eddy, beberapa sketsa masih berada di Belanda. Beliau mengharap akan kembali ke Tanah Air sebagaimana lukisan Raden Saleh.
Lukisan S. Sudjojono ikut dipajang. Ukurannya cukup besar. Seingat saya, ukuran lukisan S. Sudjojono memang besar. Lukisan terbesar ada di Museum Sejarah Jakarta tentang Sultan Agung. Sudjana Kerton, merupakan perupa lain yang karyanya ikut dipamerkan.
Pada kesempatan itu diperkenalkan informasi digital. Jika mengunduh dan men-scan pada barcode, maka kita bisa melihat lebih jauh tentang info lukisan. Namun belum semua lukisan terdigitalkan. Museum memang harus memiliki teknologi kekinian dalam memberikan informasi.
Karya lukis merupakan sumber informasi sejarah yang tidak boleh diabaikan. Kanvas, cat, dan komponen lain tentu bakalan rusak. Nah, kegiatan konservasi lukisan harus menjadi perhatian pengelola museum dan kita semua. Yang saya tahu, biaya konservasi termasuk tinggi karena pengerjaannya membutuhkan waktu lama.
Konservator yang berpengalaman tentu saja harus kita miliki. Apalagi kita punya beberapa museum sejenis. Selain Museum Seni Rupa dan Keramik, ada Galeri Nasional Indonesia dan Museum Basoeki Abdullah. Belum lagi museum-museum swasta atau museum umum yang memiliki koleksi lukisan.
Bro en sis jangan lupa lihat pameran langka ini yah. Kuy, ajak teman-teman. Dengan karcis masuk cuma Rp5.000, pasti kita terpuaskan untuk melihat bagaimana perjuangan para pendahulu kita. Ada berbagai agenda menarik melengkapi pameran. Jasmerah, jangan sekali-sekali melupakan atau meninggalkan sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H