Dulu ketika ikut mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia, arkeolog Prof. Soekmono menugaskan para mahasiswa untuk mencari sebanyak-banyaknya definisi kebudayaan. Setelah buka referensi sana-sini, penulis mengumpulkan 14 definisi yang ditulis oleh para pakar. Ternyata kemudian diketahui definisi kebudayaan sangat banyak. C. Kluckhohn pernah menulis dalam bukunya, di seluruh dunia ada lebih dari 100 definisi kebudayaan.
Kata budaya berasal dari bahasa Sanskerta, buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Â Sosiolog Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi memandang kebudayaan sebagai sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Antropolog Prof. Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan terdiri atas tujuh unsur, yakni  bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi dan peralatan, sistem kesenian, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, serta sistem kekerabatan dan organisasi kemasyarakatan. Dikatakan juga kebudayaan memiliki empat ujud, yakni nilai budaya, sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.
Prof. Soekmono selanjutnya menjabarkan kebudayaan sebagai hasil usaha manusia untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada pemberian Tuhan sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Maka, kata Prof. Soekmono, pada hakikatnya kebudayaan mempunyai dua segi, yakni segi kebendaan (dapat diraba) dan segi kerohanian (tidak dapat diraba).
Kebudayaan merupakan esensi tertinggi, yang antara lain melahirkan pendidikan dan pariwisata. Ironisnya, kebudayaan mendapat tempat lebih rendah daripada pendidikan dan pariwisata. Terbukti bidang kebudayaan selalu menjadi bagian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, lalu Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Meskipun nama Departemen diganti Kementerian, tetap saja bidang Kebudayaan 'terombang-ambing' di antara kedua kementerian tersebut.
Masalah kebudayaan memang selalu disentuh sebagai materi kampanye para pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun sentuhan mereka hanya sebatas permukaan, bahkan kebudayaan diidentikkan dengan kesenian. Â Lagi pula kebudayaan hanya dibicarakan karena mengandung aspek ekonomi.
Daya tarik Candi Borobudur berikut batik, wayang, dan keris, sebagai warisan kebendaan dan warisan takbenda, selalu dihubungkan dengan pariwisata dan devisa.
Padahal, kebudayaan berperan besar untuk membangun karakter bangsa, menumbuhkan rasa kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, mempererat hubungan persahabatan antarbangsa dan antarnegara, dan masih banyak lagi.
Mantan Direktur Purbakala, Nunus Supardi dalam pertemuan Asosiasi Museum Indonesia pernah menulis demikian, "Kurangnya perhatian itu bisa jadi karena posisi kebudayaan dalam lembaga pemerintah belum menemukan format yang tepat. Setelah 55 tahun disatukan dengan bidang pendidikan, tahun 2000 digabungkan dengan bidang pariwisata. Sepuluh tahun kemudian (2011), karena eksperimen itu dinilai tidak berhasil, maka bidang kebudayaan disatukan kembali dengan bidang pendidikan".
Sepanjang sejarah kita, belum ada Kementerian Kebudayaan yang berdiri sendiri. Untuk itulah Kementerian Kebudayaan yang mandiri sebaiknya dibentuk pada tahun ini. Pada 2014 lalu pernah terdengar wacana adanya Kementerian Kebudayaan. Namun menurut isu yang beredar, hal itu terhambat pada anggaran.