Museum sebagai ruang publik bisa digunakan untuk kegiatan apa saja, kecuali yang bersifat politik. Yang penting kegiatan tersebut mengedukasi masyarakat. Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas) didukung Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI), Minggu, 21 Juli 2019 lalu menyelenggarakan lokakarya menganyam janur.Â
Belasan peserta ikut dalam kegiatan itu. Mereka tidak dipungut bayaran, hanya tiket masuk museum sebesar Rp2.000. Sebelumnya mereka mendaftar terlebih dulu lewat media sosial.
Materi pengenalan janur diberikan oleh Pak Tumidjan. Beliau menjelaskan istilah tuwuhan, tarub, dan bleketepe. Tuwuhan atau tumbuhan memiliki beberapa makna, antara lain pengharapan akan kemakmuran, semangat hidup baru yang terus tumbuh dalam membangun rumah tangga, harapan agar kedua mempelai menuju kebahagiaan, keharmonisan dan keindahan hidup berkeluarga, dan agar kedua mempelai diberi keturunan.
Tarub berasal dari kata ditata karep ben murup (ditata agar lebih hidup), berupa penataan ruang dan pemasangan tenda di sekitar rumah yang punya hajat untuk dijadikan sebagai tambahan ruang bagi para tamu maupun para rewang yang membantu jalannya acara pernikahan.
Bleketepe biasa terbuat dari daun kelapa yang masih hijau. Bleketepe yang dipasang mengelilingi area pernikahan merupakan perwujudan dari penyucian di kahyangan para dewa yang dinamakan Bale Katapi.Â
Bale berarti tempat, sedangkan Katapi berasal dari kata tapi, berarti memisahkan kotoran kemudian dibuang. Dengan demikian bleketepe berarti adalah orang tua pengantin yang mengajak pasangan pengantin untuk menyucikan diri.
Setelah sedikit pemaparan tentang janur, Pak Tumidjan mulai mengajarkan cara membuat bagian-bagian dari kembar mayang, sepasang hiasan dekoratif yang selalu ada pada setiap pernikahan.Â
Sebelumnya, menurut Pak Tumidjan, membuat janur bisa menghasilkan uang sekitar Rp600.000 sehari. Namun tidak setiap hari, paling Jumat dan Sabtu karena biasanya hajatan diselenggarakan Minggu. Janur adalah daun kelapa muda. Istilah gampangnya daun ketupat.
Pertama, Pak Tumidjan mengajarkan cara membuat pecutan atau cambuk. Daun kelapa muda itu diseset dengan pisau cutter pas di bagian lidi. Namun tidak diseset keseluruhan. Masih menyisakan sekitar lima sentimeter untuk pegangan. Dua lembar daun kelapa muda itu disilang seperti halnya mengepang rambut.
Selanjutnya membuat 'keris'. Maklum liuk-liuknya seperti keris. Membuat 'keris' lebih sulit karena hasilnya berbentuk segitiga, Berikutnya membuat belalang. Nah ini lebih sulit. Meskipun begitu para peserta tekun mengikuti arahan Pak Tumidjan.
Pada kesempatan itu, beberapa peserta juga belajar membuat kulit ketupat. "Ini disebut ketupat pasar dan ini ketupat bawang," kata Pak Tumidjan. Ketupat bawang bisa berdiri dibandingkan ketupat pasar.
Latihan berlangsung sekitar dua jam di Kafe Stovia, di bagian belakang Museum Kebangkitan Nasional. Mereka duduk di lantai. Panitia menyediakan cutter dan daun kelapa muda, bahkan kudapan dan minuman. "Saya baru kali ini belajar janur," kata seorang mahasiswi.
Para peserta sangat senang dengan kegiatan seperti itu karena menambah pengetahuan. Di akhir acara para peserta mendapat cenderamata dari Museum Kebangkitan Nasional.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H