Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kata Walisongo, Miliki Hati yang Selalu Bersyukur

25 Mei 2019   07:22 Diperbarui: 25 Mei 2019   07:33 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dialog budaya di Masjid Istiqlal (Dokpri)

Seperti biasanya pada bulan Ramadhan, Masjid Istiqlal menyelenggarakan acara yang disebut Iftar Budaya. Kali ini tema yang diusung Dinamika Perjalanan Dakwah Auliya di Nusantara. Kegiatan itu berlangsung pada 22 Mei hingga 26 Mei 2019. 

Berbagai acara digelar pada kegiatan itu, yakni pameran budaya bertopik Jejak Langkah Dakwah Budaya Walisongo, buka puasa bersama, pertunjukan seni khas Betawi, dialog budaya, melukis dan membatik, serta panahan.

Pendukung utama kegiatan Iftar Budaya adalah Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa institusi lain juga berpartisipasi, seperti Museum Wayang, Museum Tekstil, dan Museum Nasional.

Iftar berasal dari bahasa Arab, berarti buka puasa, mengacu pada sebuah perjamuan saat Muslim berbuka puasa selama bulan Ramadan.  

Pameran di Masjid Istiqlal (Dokpri)
Pameran di Masjid Istiqlal (Dokpri)

Pameran

Saya berkempatan melihat pameran pada Jumat, 24 Mei 2019. Narasi yang terdapat pada papan panel cukup menyejukkan hati. Banyak informasi berharga terdapat di dalamnya, yang tentu saja bermanfaat buat pengunjung. Apalagi ditunjang oleh ilustrasi dan artefak dari masa Islam.

Ada mahkota Sultan Banten koleksi Museum Nasional. Kesultanan Banten muncul pada abad ke-15. Menurut buku-buku sejarah, kongsi dagang Belanda pertama kali mendarat di Banten.

Ada nisan berkaligrafi. Tulisan pada nisan itu sangat indah, terukir dalam batu putih. Buku-buku kuno beraksara Arab juga mengisi ruang pameran. Wayang yang muncul di Cirebon ikut dipamerkan. 

Wayang tersebut milik Museum Wayang. Saya lihat di dinding panel tergantung tiga lukisan kaca. Lukisan kaca berasal dari Cirebon. Yang unik, melukisnya dari bagian dalam dan penuh dengan kaligrafi Arab.

Pada panel, ada informasi tentang teori masuknya Islam ke Nusantara. Teori Gujarat, Teori Arab, Teori Persia, dan Teori Cina, begitulah yang selama ini dikenal.

Kedatangan Islam untuk pertama kalinya di Indonesia, sejak abad pertama Hijriah rupanya belum banyak menyentuh masyarakat luas. Kemudian datanglah sekelompok mubaligh yang dikenal dengan sebutan Wali Songo yang membuka cakrawala syiar Islam. 

Para wali ini juga memiliki gelar Sunan. Sunan berasal dari kata "Susuhunan" yang artinya "yang dijunjung tinggi" atau panutan masyarakat setempat. Begitulah salah satu panel pameran.

Ada lagi ucapan-ucapan menyentuh para wali. Miliki hati yang selalu bersyukur pada Allah, begitu kata Sunan Gunung Jati. Jadikan hati, pikiran dan perilakumu penuh rahmat Allah, itu kata Maulana Malik Ibrahim. Bersihkan hati, akal dan perilakumu, demikian wejangan Sunan Kalijaga.

Dialog budaya di Masjid Istiqlal (Dokpri)
Dialog budaya di Masjid Istiqlal (Dokpri)

Dialog budaya

Saya sempat mengikuti dialog budaya bertema Dakwah Membumi Walisongo bersama Prof. Jajat Burhanuddin dari UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Syafig A. Mughni, utusan khusus Presiden, dan K.H. Agus Sunyoto, tokoh NU. Dialog tersebut dimoderatori Pak Nadjamuddin Ramly, Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya.

Menurut Pak Syafig, apa yang dilakukan walisongo mempengaruhi kultur masyarakat Indonesia. "Walisongo menggunakan dakwah kultural dengan cara reformatif. Artinya tidak membumihanguskan modal budaya yang ada, dengan kata lain bentuk tetap tetapi hanya mengubah isinya. Contohnya gending tetap, syairnya  berubah," kata Pak Syafig.

Pak Jajat mengatakan pola kultural dekat dengan budaya maritim. Oleh karena itu pengislaman dilakukan dengan cara akulturasi, misalnya kerajaan Demak mengirim para ulama ke Kalimantan dan Sulawesi.

Peserta dialog budaya (Dokpri)
Peserta dialog budaya (Dokpri)

Pak Agus menguraikan tentang naskah-naskah tua seperti tentang Sarandib dan berita dinasti Tang abad ke-7. Konon, orang-orang dari Arab tidak berani kirim utusan ke Sarandib karena letaknya di tengah laut. Jadi orang-orang Nusantara yang pergi ke Arab karena memang dikenal sebagai pelaut andal.  

Terungkap dari diskusi, sampai sekarang masyarakat Kudus masih menghormati agama Hindu dengan tidak memotong sapi. Sapi memang hewan suci dalam agama Hindu. Sebagai ganti, untuk kuliner biasanya masyarakat memotong kerbau atau lembu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun