Bukti-bukti pendidikan awal ada di Kerajaan Sriwijaya, Situs Batujaya, dan pada masa Mataram Kuno (untuk membedakan dari Mataram Islam, pen.). Pada 1011 datang biksu dari India bernama Atisa Dipangkara Srijnana ke Suwarnnadwipa.Â
Ia berguru kepada Dharmmakirtti pada 1023, kemudian Atisa kembali ke India. Ajaran Dharmmakirti merupakan ajaran keagamaan Buddha yang utama, diajarkan kembali oleh Atisa ke Tibet untuk mereformasi ajaran Buddha Mahayana di sana. Sampai sekarang ajaran tersebut masih dipelihara dengan baik di dalam pengajaran Buddha Tibet.Â
Demikian diungkapkan Prof. Agus Aris Munandar dalam Seminar bertajuk "Menelisik Sejarah Pendidikan di Indonesia" di Museum Kebangkitan Nasional, Jumat, 3 Mei 2019.
Sriwijaya sebagai pusat pendidikan agama Buddha memang pernah diberitakan pengelana Tiongkok, I-tsing. Ia pernah berkata, sebelum belajar ke Nalanda di India, sebaiknya para siswa belajar terlebih dulu di Sriwijaya. Ternyata, belasan abad lampau sistem pendidikan kita begitu dihargai di mancanegara.
Pada kesempatan lain Prof. Agus memberi contoh Candi Borobudur. Candi itu berasal dari masa Mataram Kuno. Teknik sipil pembangunan candi, pemahaman ornamen relief, pendalaman Buddha Mahayana-Mantrayana, dan kehidupan wihara juga terlaksana berkat sistem pendidikan kala itu.Â
Menurut Prof. Agus, kala itu mengikuti pendidikan bertujuan untuk mempersiapkan diri sebagai raja, permaisuri, pejabat tinggi kerajaan, atau pejabat lainnya. Juga untuk menjadi agamawan, silpin (agamawan seni pahat), dan kawi (agamawan seni-susastra).Â
Bahkan ada yang bertujuan instan seperti supaya memperoleh keinginan yang didambakan, memperoleh senjata bertuah, dan memperoleh ilmu kesaktian.
Pada masa Majapahit, kaum Brahmana masih tetap berperan. Soalnya  kebudayaan kita mengadopsi kebudayaan India yang menggunakan sistem kasta.Â