Membaca namanya jelas bukan nama Indonesia. Namun mendengar namanya, para ilmuwan, terutama yang bergelut di bidang pernaskahan, pasti mengenalnya. Henri Chambert-Loir, pria Prancis kelahiran 1945 ini, dikenal sebagai filolog Islam. Ia telah menulis banyak buku tentang naskah Nusantara.
Mumpung di Jakarta, ia 'ditodong' memberikan pengetahuan kepada para peminat naskah di Perpustakaan Nasional dalam tajuk diskusi bulanan Manassa.
Manassa singkatan dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara, yang diketuai Dr. Munawar Holil. Kang Mumu, demikian panggilan akrabnya, hadir pada kesempatan itu. Begitu juga Aditia Gunawan, filolog dari Perpustakaan Nasional.
Hang Tuah Naik Haji, begitulah materi yang dibawakan Henri.Tentu saja dalam bahasa Indonesia. Ia fasih sekali.
Menurut Henri, Hikayat Hang Tuah dikarang di Johor pada akhir abad ke-17. Proses kepengarangannya tidak diketahui, barangkali saja terjadi bertahap-tahap.
Hikayat tersebut adalah sebuah epos yang ditulis berdasarkan peristiwa-peristiwa sejarah serta aneka legenda yang terkait dengan kota Malaka pada abad ke-15.Â
"Hikayat itu menyatukan dalam dirinya seorang tokoh tunggal berbagai perbuatan istimewa yang dilakukan oleh beberapa tokoh berlainan dalam Sulalat al-Salatin (Sejarah Melayu) serta juga macam-macam kelakuan dan petualangan yang berasal dari dongeng-dongeng semasa," demikian Henri.
Hikayat Hang Tuah banyak dibahas dan dikomentari oleh sarjana-sarjana Malaysia dan Indonesia, bahkan sarjana asing, serta juga oleh sejumlah besar wartawan dan penulis esei Malaysia. Teks itu telah dianalisis dari segi sastra, sejarah dan politik, malah juga diadaptasi dalam bentuk sastra, cerita bergambar dan file.
Boleh dikatakan Hikayat Hang Tuah adalah salah satu karya sastra Melayu lama yang paling tersohor dan paling sering dibahas. Namun demikian, teks itu belum diteliti seluruh isinya dan segala aspeknya. Salah satu aspek yang kiranya belum pernah disentuh, ialah dimensi agamanya, dalam hal ini tentunya dimensi Islamnya.
Dikisahkan, suatu waktu Sultan Malaka mengutus Hang Tuah ke Rum, yakni Istanbul, untuk membeli meriam-meriam besar. Hang Tuah berlayar bersama Maharaja Setia, yakni Hang Kesturi, serta 16 orang kaya. Hang Tuah singgah di Aceh, lalu di Pulau Dewa (kini Maladewa).