Museum Sumpah Pemuda merupakan salah satu museum sejarah, yang dalam menjalankan kegiatannya selalu mengacu kepada tugas dan fungsi museum. Salah satu fungsi Museum Sumpah Pemuda adalah pelaksanaan publikasi dan penyebarluasan informasi museum dan sejarah, khususnya sejarah Sumpah Pemuda kepada masyarakat dan generasi muda.
Itulah yang mendasari Museum Sumpah Pemuda menyelenggarakan Seminar Nasional "Refleksi 90 Tahun Sumpah Pemuda" dengan tema "Peranan Generasi Muda dalam Menjawab Tantangan Persatuan dan Kesatuan Bangsa". Â Seminar berlangsung di Museum Nasional pada 10 Oktober 2018, dihadiri sekitar 150 peserta terdiri atas dosen, mahasiswa, guru, komunitas, dan instansi terkait.
Pembukaan dilakukan oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, sekaligus menjadi pembicara kunci. Sebelumnya Kepala Museum Sumpah Pemuda, Huriyati, memberikan laporan pelaksanaan kegiatan. Setelah sambutan Bapak Hilmar Farid, berbicara pada sesi kesatu Prof. Aminuddin Kasdi, Yudi Latif, dan Prof. Djoko Marihandono, dengan moderator Dr. Bondan Kanumoyoso. Pada sesi kedua tampil Tina Talisa dan Christina, dengan moderator Gafar Zakaria.

Pak Aminuddin berbicara banyak soal filosofi merah putih sebagaimana bendera kita. Mengutip M. Yamin, menurut Pak Aminuddin, kepercayaan adanya tuah dari Sang Merah Putih di lingkungan bangsa-bangsa Austronesia telah berusia setidak-tidaknya 4.000 tahun SM. Yamin menghubungkan warna putih dengan pemujaan bulan, sementara warna merah dengan pemujaan matahari.
Warna merah putih kemudian dikenal dalam tradisi Jawa dalam bentuk bubur merah putih. Merah melambangkan sel telur dari wanita dan putih melambangkan sperma dari pria.
Masih menurut Pak Aminuddin, lambang merah putih pernah diberitakan oleh Prasasti Gunung Butak dari masa 1294 Masehi. Begitu pula dalam peperangan besar setelah Majapahit hingga Perang Diponegoro. Umbul-umbul merah putih berperan besar. Diperkirakan merah lambang keberanian dan putih lambang kesucian.

Menurut Pak Yudi Latif, para pemuda pelopor Angkatan 1928 merupakan representasi dari kehadiran suatu generasi yang gemilang. Dalam keterbatasan konektivitas teknis, seperti sarana transportasi dan komunikasi, generasi ini mampu meluaskan horison imajinasi komunitas politiknya melampaui batas-batas spasial kepulauan dan primordial. Para peserta kongres pemuda 1928 pun mementingkan persaudaraan, sebagaimana terlihat dari organisasi yang hadir, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, dan Jong Batak.
"Upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, dan agama, tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional seperti yang tertuang dalam Pancasila dan konstitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti Bahasa Indonesia.
Pak Djoko Marihandono mengatakan lagu kebangsaan Indonesia Raya mengalami perjalanan yang cukup panjang. Semula kehadiran lagu ini tidak memperoleh perhatian serius dari pemerintah kolonial. Barulah setelah Menteri Koloni mengetahuinya, pemerintah Hindia-Belanda segera menanggapi.