Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Banyak Lulusan Magister Museologi Menjadi "Korban" Rotasi Pegawai

29 Agustus 2018   21:21 Diperbarui: 30 Agustus 2018   11:42 1873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri Intan Mardiana, Adang Surjana, dan Budi Trinovari (Dokumentasi pribadi)

Selama dua hari, 29 dan 30 Agustus 2018, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta menyelenggarakan rapat teknis pengelolaan museum terkait sejarah. Kegiatan itu diikuti pengelola museum yang bernaung di bawah Asosiasi Museum Indonesia DKI Jakarta "Paramita Jaya" dan Asosiasi Museum Indonesia Kawasan TMII. Juga diikuti beberapa komunitas yang berhubungan dengan permuseuman.

Kegiatan dibuka oleh Plt. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Asiantoro. Pak Asiantoro berharap ada pemikiran atau perkembangan karena museum-museum pemerintah di DKI Jakarta sejak lama tidak bertambah. Sebaliknya museum-museum swasta banyak berdiri.

Dari kiri Nunus Supardi, Adang Surjana, dan Ali Akbar (Dokumentasi pribadi)
Dari kiri Nunus Supardi, Adang Surjana, dan Ali Akbar (Dokumentasi pribadi)
Karakter tersendiri

Pada bagian awal Pak Nunus Supardi menjadi pemateri. Ia mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa masyarakat Indonesia punya karakter tersendiri. Bahkan kata Presiden, dari hasil  renungan saya, Indonesia punya "DNA" berkarya dalam seni dan budaya. Sementara menurut Dirjen UNESCO Fransesco Bandarin, Indonesia adalah negara super power bidang budaya.

Pak Nunus juga menyoroti bahwa museum telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, yakni pada 1778. Padahal, di banyak negara yang sekarang permuseumannya sudah maju, museum mereka lahir sesudah kelahiran museum di Nusantara.

Memang museum-museum di Indonesia sampai kini terus berkembang. Namun, perkembangannya masih kalah dengan beberapa negara seperti Korea dan Jepang. Museum di kedua negara itu maju dengan pesat.

Pak Ali Akbar mengatakan koleksi museum harus sarat informasi. Untuk itu ia menekankan peran pemandu. "Kalau pengunjung sudah tahu cerita tentang koleksi itu buat apa ada pemandu," katanya. Nah, pemandu harus mampu bercerita di belakang artefak itu secara lebih detail.

Dari kiri Intan Mardiana, Adang Surjana, dan Budi Trinovari (Dokumentasi pribadi)
Dari kiri Intan Mardiana, Adang Surjana, dan Budi Trinovari (Dokumentasi pribadi)
Potensi SDM

Mantan Kepala Museum Nasional menekankan peran SDM museum. Namun terkadang, katanya, potensi SDM museum tidak berfungsi dengan baik. Sebagai alternatif, mengembangkan SDM museum bisa dilakukan melalui kerja sama antarlembaga.

Menurut Ibu Intan, program pengembangan SDM sudah dilakukan lewat pascasarjana Museologi di beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia. Sayang banyak lulusan S-2 Museologi menjadi "korban" rotasi pegawai. Sekarang mereka mengabdi di bidang yang jauh dari kapasitasnya sebagai museolog.

Saya pernah mendengar memang ada lulusan museologi yang dipindahkan ke bagian satpol PP. Yah ampun, sudah menghabiskan dana negara, tidak berurusan dengan museum lagi. Padahal, biaya pendidikan museologi lumayan mahal.

Pak Budi Trinovari mengisahkan lahirnya berbagai komunitas di kawasan Kota Tua Jakarta sejak 2005. Seiring waktu, banyak komunitas tumbuh. Sebaliknya beberapa komunitas juga tak ada kabarnya.

Tadinya sejumlah komunitas dikasih tempat di Museum Mandiri. Namun kemudian karena ada komunitas yang berulah, misalnya merusak bagian gedung dan mabuk-mabukan, maka sekarang pemilihan komunitas dilakukan hati-hati.

Para peserta kegiatan dari berbagai museum dan komunitas (Dokumentasi pribadi)
Para peserta kegiatan dari berbagai museum dan komunitas (Dokumentasi pribadi)
Bergengsi

Nama museum memang belum mencapai taraf populer. Ini karena istilah 'dimuseumkan' berkonotasi negatif. Biasanya pegawai yang bermasalah dimutasi ke museum. Padahal sesungguhnya bekerja di museum merupakan kebanggaan atau bergengsi. Soalnya, museum merupakan etalase negara. Museum bahkan menjadi daya tarik pariwisata sebagaimana Museum British dan Museum Louvre yang setahunnya dikunjungi belasan juta orang.

Di Indonesia museum beragam. Ada yang anggarannya kecil, ada pula yang besar. Nah, ini harus menjadi perhatian banyak pihak. Seharusnya museum yang sudah mapan membantu museum yang masih terengah-engah.

Persoalan museum harus menjadi perhatian kita semua. Kerja sama dan gotong royong, itulah kuncinya. Pak Yiyok T. Herlambang, Ketua Paramita Jaya, memang sedang berupaya maksimal. Sinergi dengan berbagai institusi tengah dilakukan. Ada empat institusi yang berkepentingan dengan museum, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun