Banyak hal terungkap dari seminar peran Museum DPR-RI dan pameran bertema DPR dalam lintasan sejarah bangsa, yang diselenggarakan di Gedung DPR-RI, 27 dan 28 Agustus 2018. Yang pertama tentang sebutan Gedung Kura-kura. Nama ini memang populer sejak lama. Bentuknya dianggap mirip kura-kura.Â
Di bagian dalam pun ada ruangan KK1 dan KK2, yang ternyata singkatan dari kura-kura. Padahal, sebenarnya Gedung DPR itu berujud seperti sayap Garuda. Entah siapa yang pertama menyebut kura-kura, tidaklah diketahui. Seorang peserta, Pak Yusuf Gani Sjaukani bahkan mendapat informasi dari ayahnya, bahwa gedung sejenis mirip dengan gedung di Berlin.
Ketua Umum Asosisasi Museum Indonesia (AMI) Pak Putu Supadma Rudana dalam pengantarnya mendorong peningkatan dan kapasitas Museum DPR-RI karena Museum DPR memiliki peran strategis dalam merekam kejadian di DPR. Katanya, Museum DPR penting untuk keperluan study tour dan wisata. Bahkan museum harus menjadi ikon DPR.
Pak Putu adalah anggota Komisi X yang salah satunya membidangi kebudayaan, termasuk museum. Menurutnya, Museum DPR satu-satunya museum yang secara spesifik merekam setiap kejadian yang ada di DPR. Oleh karena itu harus dapat diakses oleh generasi-generasi sekarang dan mendatang sebagai sarana pendidikan politik. Pak Putu juga berharap daerah-daerah bisa mendirikan museum sejenis, karena kita memiliki ratusan provinsi, kabupaten, dan kota.
Anggaran museum sangat kecil, begitu terungkap dari staf Setjen DPR. "DPR itu menentukan anggaran. Banyak instansi mendapat anggaran besar. Tapi begitu untuk Museum DPR sangat kecil," katanya disambut sorak peserta.
Menurut Ibu Heriyanti, kekayaan koleksi Museum DPR sangat minim. Padahal, DPR telah mengalami 18 periode. Melalui pameran di museum dapat digambarkan peran wakil rakyat untuk memperjuangkan aspirasi dari masa ke masa, lengkap dengan dokumen dan arsip. Bahkan Gedung DPR pun menjadi gedung bersejarah yang sarat makna, begitu kata Ibu Heriyanti.
Museum DPR, menurut Ibu Heriyanti, sangat penting karena anggota DPR memiliki "keistimewaan" sehingga kinerjanya patut diabadikan dalam sebuah museum.
Ada hal menarik yang dikemukakan Ibu Heriyanti. Menurutnya, ruang sidang paripurna tempat setiap 16 Agustus Presiden membacakan pidato, pantas diperlihatkan kepada masyarakat. Jadi yang namanya Museum DPR berupa Gedung DPR dan seluruh isinya.
Museum DPR perlu dioptimalkan, begitu kata Ibu Heriyanti lagi. Cara mengoptimalkannya antara lain dengan membuat kuis tentang DPR untuk segala tingkatan usia, simulasi membuat undang-undang, jumpa dengan anggota DPR yang sedang menjadi tokoh, dan menyediakan peralatan khusus sehingga tidak ada distorsi informasi.