Menjadi atlet pada zaman now sebenarnya sungguh enak. Tentu saja kalau mampu berprestasi di tingkat internasional. Berbagai iming-iming bonus sudah dijanjikan pemerintah. Belum lagi dari pihak swasta atau individu.
Sekadar gambaran, peraih medali emas, perak, dan perunggu Olimpiade memperoleh 5 Miliar, 2 Miliar, dan 1 Miliar. Kemungkinan mendapatkan bonus lain tetap terbuka, seperti diangkat menjadi PNS dan tambahan uang terima kasih dari induk organisasi masing-masing cabang olahraga. Pada gelaran Asian Games 2018 ini pemerintah akan memberikan bonus 1,5 Miliar bagi peraih medali emas. Wow...
Berbeda dengan zaman old, terutama pada Asian Games IV, 1962. Ketika itu kondisi negara sedang morat-marit. Untunglah rasa nasionalisme atlet begitu tinggi. Mereka hanya berpikir bagaimana mencapai prestasi sebaik-baiknya buat negara. Tanpa iming-iming bonus pun mereka hebat.
Menyambut Asian Games 2018 ini, Direktorat Sejarah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mulai 18 Agustus 2018 menyelenggarakan Pameran Sejarah Asian Games. Khusus di acara pembukaan itu dihadirkan talkshow dengan beberapa mantan atlet.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Bapak Hilmar Farid yang waktu mahasiswa hobi basket mengatakan sangat bangga terhadap olahraga asli Indonesia, pencak silat, dipertandingkan dalam Asian Games 2018. Menurutnya, hal itu merupakan kesempatan yang baik agar pencak silat diakui sebagai warisan dunia.
Menurut Amin Rahayu, staf Direktorat Sejarah yang menulis buku tentang Asian Games 1962, pada Asian Games itu Indonesia memperoleh 11 medali emas, 12 medali perak, dan 28 medali perunggu. Dengan demikian Indonesia menduduki peringkat kedua di bawah Jepang.
Dua atlet yang pernah mengikuti Asian Games 1962, Sabtu, 18 Agustus 2018 lalu tampil dalam talkshow menyambut Pameran Sejarah Asian Games. Atlet tertua yang tampil adalah Pak Buna Wijaya. Ia pebasket kelahiran 1933. Meskipun tim basket hanya menduduki peringkat kelima, namun semangat tim ketika itu sungguh luar biasa.
Pak Buna Wijaya masih terlihat sehat. Kalau dihitung usianya 85 tahun. Setelah berhenti menjadi atlet, Pak Buna masih membina atlet-atlet muda. Apalagi ia mempunyai lapangan olahraga yang bisa disewakan.
Ibu Retno Kustijah ikut tampil. Pada Asian Games 1962, Ibu Retno yang berpasangan dengan Ibu Minarni memperoleh medali emas untuk ganda putri cabang bulutangkis. Berhenti jadi atlet, Ibu Retno masih berkiprah sebagai pelatih. Berkat tangan dinginnya lahir banyak pemain kelas dunia. Menurut Ibu Retno, untuk menjadi atlet diperlukan tekad dan ketekunan berlatih.
Pak Yustedjo Tarik hadir sebagai pengganti ibu Lanny Gumulya. Pak Yustedjo meraih 2 medali emas di Asian Games Bangkok, 1978 dan 2 medali emas di Asian Games New Delhi, 1982 dalam cabang tenis putra. "Dulu kita tidak menyangka dapat medali. Soalnya yang diharapkan dapat medali adalah tenis putri. Waktu itu Lita Liem dan Lanny Kaligis berjaya di tingkat Asia," kata Pak Yustedjo.
Yustedjo berharap generasi muda tidak takut menjadi atlet. "Menjadi atlet merupakan kebanggaan, apalagi bisa mengharumkan nama bangsa," katanya.
Pameran Sejarah Asian Games berlangsung di dua tempat. Pertama, di Plaza Insan Berprestasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 17-25 Agustus 2018. Kedua, di Museum Nasional pada 18-28 Agustus 2018. Untuk menyambut perhelatan akbar ini, Museum Nasional tetap buka pada Senin, bahkan menggratiskan karcis masuk buat tim Asian Games dari berbagai negara. Biasanya Museum Nasional tutup setiap Senin loh.
Pengunjung pada hari kedua pameran lumayan banyak. Peserta Asian Games yang belum bertanding sempat melihat pameran tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H