Tidak dimungkiri sampai saat ini banyak benda budaya kita berada dalam kondisi memprihatinkan. Selain usianya sudah puluhan tahun, bahkan mungkin lebih dari seratus tahun, cuaca ikut mendukung kerusakan tersebut. Untuk memperlambat laju kerusakan, tentu saja dibutuhkan penanganan khusus. Di dunia ilmu pengetahuan, upaya tersebut dikenal dengan istilah preservasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring, preservasi dari kata Inggris preservation berarti pengawetan, pemeliharaan, penjagaan, dan perlindungan.
Preservasi dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah, salah satunya Perpustakaan Nasional. Berkenaan dengan Festival Panji tahun ini, Perpustakaan Nasional melakukan preservasi terhadap wayang beber otentik.
Wayang beber merupakan gambar yang dipentaskan pada hajatan tertentu. Bentuknya berupa gulungan kertas berisi gambar. Tiap gulungan berisi beberapa episode. Dalang menceritakan tiap episode diiringi musik gamelan sebagai pengiring. Wayang beber dikenal di Jawa, dikenal sejak abad ke-15 di Jawa Timur.
Wayang beber otentik terbuat dari kulit kayu berkualitas tinggi atau daluwang/daluang. Â Wayang beber yang dipreservasi itu berukuran 80 cm x 400 cm dan dilukis dengan warna-warni alami.
Di masa lalu wayang beber merupakan bagian dari upacara ritual. Kini bentuk penyajian tersebut sudah langka, bahkan jarang diketahui masyarakat Jawa. Menurut informasi, saat ini hanya ada dua set gulungan wayang beber yang disimpan di Jawa. Delapan gulungan berada di Desa Gelaran (Wonosari) dan enam gulungan di Desa Karangtalun (Pacitan). Kedua set itu menggambarkan cerita Panji di Jawa.
Selain Jawa, ternyata Belanda juga punya. Kini koleksi itu berada di National Museum of Ethnologi di Leiden. Meskipun menggambarkan cerita Panji, namun belum diketahui cerita Panji yang mana.
Ketiga set wayang beber itu memang sulit terhindar dari waktu. Sedikit demi sedikit kerusakan pasti terjadi. Maklum bahan pembuatan dari kulit kayu, bahan yang mudah rapuh.
Preservasi merupakan pekerjaan rumit. Jadi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Perlu bahan dan teknik khusus. Lagi pula bahan-bahan preservasi amat sangat mahal untuk ukuran kita. Meskipun begitu, tradisi hidup itu tetap harus dilestarikan demi generasi sekarang dan generasi mendatang.
Jelas patut dipertanyakan mengapa bangsa kita kurang peduli terhadap peninggalan nenek moyangnya sendiri. Â Mengapa kita harus tergantung dari bantuan bangsa asing?
Selain preservasi koleksi, pihak KITLV di Belanda juga sedang membuat laman tentang naskah Panji. Roger Tol, mantan Kepala KITLV di Jakarta, mengemukakan hal itu pada seminar internasional Panji 11 Juli 2018 lalu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H