Hari masih pagi ketika saya sampai di Serang, yah pukul 07.00 lebih dikit. Maklum saya dari Jakarta pukul 05.30 naik mobil travel dari kawasan Semanggi. Sekitar pukul 08.00 saya sampai di sebuah pintu gerbang yang bertuliskan Museum Negeri Banten. Kompleks itu terletak dekat alun-alun kota Serang.
Dari pintu gerbang ke dalam berjarak sekitar 50 meter. Kompleksnya sangat luas. Bangunan yang saya tuju, tampak cukup megah. Di mata awam, bangunan itu dikenal dengan istilah bangunan kolonial.
Menurut catatan yang saya baca, perencanaan bangunan itu diusulkan pada 1821. Pada masa Hindia-Belanda, bangunan itu berfungsi sebagai pusat pemerintahan atau Kantor Residen Banten. Begitu pula ketika beralih ke zaman Jepang, menjadi basis pemerintahan pemerintah Jepang.
Sebagai kantor gubernur, bangunan itu biasa disebut Pendopo Gubernur Banten. Di era Gubernur Rano Karno, tempat itu dialihfungsikan sebagai Museum Negeri Provinsi Banten. Hal itu terjadi pada penghujung 2015. Kantor Gubernur sendiri kemudian pindah ke Palima.
Memasuki halaman depan, pengunjung akan disambut si Rhino, yakni badak bercula satu yang merupakan maskot Banten. Badak langka seperti itu ada di Taman Nasional Ujung Kulon.
Masuk ke bagian dalam ada informasi tentang Banten masa kini. Informasinya dilengkapi audio visual. Di sebelahnya ada ruangan untuk menunjukkan toleransi beragama. Sejak masa silam memang toleransi beragama di Banten sangat kuat. Informasi dapat dibaca melalui ponsel android yang terpasang di sana. Cukup mudah pengoperasiannya.
Saya jarang melihat di museum-museum lain ada kacamata khusus untuk melihat gambar. Nah, di Museum Negeri Banten ada. Kalau tidak salah Virtual Reality namanya. Dengan memakai kacamata ini pengunjung bisa melihat tampilan gambar sambil berputar. Di dekatnya ada koleksi yang mencerminkan arkeologi bawah air berikut sejumlah temuan.
Masuk lagi lebih dalam terdapat sejumlah koleksi yang dulunya milik Museum Krakatau di Carita. Koleksi-koleksi tersebut diserahkan untuk Museum Negeri Banten pada 2010. Pada 1980-an saya pernah ke Museum Carita dan sempat berbincang dengan pengelolanya, Axel Ridder. Mungkin karena dia orang Jerman jadi segala persoalan untuk mendirikan museum yang permanen dipersulit pemerintah setempat.