Sejak awal 2015 di Kelapa Gading banyak mesin parkir berwarna merah. Namun sejak Desember 2017, perlahan-lahan mesin itu mulai tidak difungsikan. Maka pengguna parkir tidak lagi melakukan tap kartu ke mesin itu, tetapi membayar langsung ke juru parkir.
Menurut berbagai berita media cetak, mesin parkir itu buatan Swedia. Pemakaiannya diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ahok, pada Maret 2015. Â Tujuan diadakan mesin parkir agar tidak ada interaksi langsung dengan manusia, sehingga uang parkir masuk ke kas daerah secara utuh. Untuk kelancaran parkir, pengguna harus memiliki kartu elektronik sebagaimana untuk membayar tiket bus TransJakarta, kereta api, tol, dan lainnya.
Tarif parkir ketika itu sebesar Rp 5.000 per jam. Namun bila cuma parkir sebentar, bisa digunakan di tempat lain masih di kawasan Kelapa Gading. Pokoknya selama maksimum satu jam, tidak dikenakan biaya lagi.
Meskipun saya tinggal di Kelapa Gading, baru beberapa hari lalu saya perhatikan mesin-mesin berwarna merah itu sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah alas mesin yang berbentuk tangga batu. Jadinya masyarakat kembali ke cara pembayaran manual. Â Setiap parkir, baik sebentar maupun lama, dikenakan Rp 5.000 per jam.
"Kalau dipikir lebih enak masa gubernur lama. Saya dapat gaji, bahkan dapat tip dari sopir dan yang punya mobil," kata juru parkir. Selama kekosongan itu, empat bulan juru parkir tidak memperoleh gaji. Justru sekarang penghasilan tambah sedikit karena harus berbagi dengan juru parkir baru.
Kita harapkan mesin parkir lama bisa difungsikan kembali karena masih layak pakai. Ini agar tidak buang-buang duit lagi untuk membeli mesin baru. Semoga segala transaksi langsung semakin berkurang, sehingga penghasilan parkir bisa masuk ke kas daerah/negara. Dulu hasil parkir banyak 'menguap'. Sekarang harus utuh. Jakarta harus semakin baik, bukan semakin mundur.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H