Setelah beberapa kali melakukan kegiatan diskusi, lokakarya, blusukan, dan publikasi, Minggu, 18 Maret 2018, Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI) mengadakan kegiatan baru "Sinau Aksara dan Bedah Prasasti". Kegiatan berlangsung di Museum Nasional pukul 09.00 hingga pukul 14.00 WIB.
Ternyata peminat kegiatan ini cukup banyak. Begitu dibuka lewat pendaftaran daring, dalam beberapa jam kuota 40 orang terpenuhi. Mereka berasal dari kalangan masyarakat awam, yakni pelajar, mahasiswa, guru, karyawan swasta, dan umum sebagaimana yang tertera pada daftar hadir.
Karena itu pendaftaran segera ditutup. Para calon peserta tetap dicatat sebagai daftar tunggu. Total pada hari pelaksanaan, ada 63 orang mengikuti sinau ini. Sinau merupakan nama keren dari belajar.
Memang kegiatan KPBMI ini bukanlah kegiatan perintis. Sebelumnya kegiatan serupa pernah dan masih diselenggarakan oleh beberapa komunitas di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemateri kegiatan ini adalah Sri Ambarwati atau biasa disapa Ami dan Fifia Wardhani. Ami pernah menjadi jurnalis, dan kemudian mengambil S-2 Epigrafi di UI. Sementara Fifia dengan panggilan akrab Fifi, sampai saat ini masih bekerja di Museum Nasional. KPBMI memilih Museum Nasional karena museum ini memiliki banyak koleksi prasasti.
Dalam uraian pengenalan, Fifi mengatakan manusia mengenal dua sistem komunikasi, yakni komunikasi langsung (bahasa lisan) dan komunikasi tidak langsung (bahasa tulisan). Â Bahasa lisan lebih tua daripada bahasa tulisan karena digunakan sejak masa prasejarah. Sementara bahasa tulisan memiliki keunggulan dapat menghilangkan batasan jarak dan waktu. "Tulisan mempercepat perkembangan kebudayaan dan peradaban," kata Fifi.
Mengenai aksara atau tulisan, menurut Fifi mengutip pernyataan Trigangga, adalah simbol bunyi yang diucapkan manusia, membentuk rangkaian kata yang bermakna dan dapat dipahami manusia.
Selanjutnya menurut Ami, kata "prasasti" berasal dari bahasa Sanskerta, prasasti yang secara harfiah berarti 'puji-pujian', dan arti secara luas adalah "piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang."
Saat ini prasasti dipahami sebagai artefak bertulis, yaitu huruf-huruf, kata-kata atau tanda-tanda konvensional yang dipahatkan pada bahan-bahan yang tidak mudah rusak dimakan usia, contohnya batu, logam, tanah liat bakar dan bahan keras lainnya.
Perlu diketahui, tidak mudah untuk membaca tulisan dalam prasasti. Ini mengingat tulisan-tulisan tersebut sudah berusia ratusan tahun, bahkan lebih, yang sekarang tidak digunakan lagi oleh masyarakat. Jadi sudah menjadi bahasa mati. Untuk itu  dibutuhkan keahlian khusus yaitu epigrafi, ilmu yang mempelajari tulisan-tulisan kuno. Orang yang ahli membaca prasasti disebut epigraf. Para epigraf inilah yang bisa membaca, mengartikan dan menguak takbir sejarah yang dituliskan dalam sebuah prasasti. Hasil pembacaan dan terjemahan isi prasasti kemudian disusun oleh para sejarawan untuk menjadi cerita sejarah yang komplet dan akurat.