Mata uang selalu menarik perhatian, apalagi yang bernilai tinggi. Kalau masih berlaku sebagai alat pembayaran, bisa digunakan untuk membeli sesuatu. Namun kalau sudah tidak beredar lagi di pasaran, bisa disimpan sebagai koleksi. Orang yang berkoleksi mata uang disebut numismatis.
Perkembangan numismatik di Indonesia boleh dibilang lamban. Ini karena mata uang tidak terbit setiap tahun. Untuk itu numismatis mencari sesuatu yang baru untuk menambah perbendaharaan koleksi mereka.
Ada hal-hal tertentu yang menarik perhatian numismatis. Salah satunya disebut 'variasi'. Saat ini 'variasi' mencakup tahun penerbitan, tahun pencetakan, dan tanda tangan.
Penanda tangan
Coba perhatikan uang kertas bernilai Rp10 di bawah. Uang kertas itu bergambar sama. Yang berbeda hanyalah tahun penerbitan, yakni 1958 dan 1963.
Coba perhatikan pula uang Rp 1.000 di atas. Semua gambar sama. Yang berbeda adalah tahun pencetakan dan penanda tangan. Pada cetakan 2000, penanda tangan Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur. Pada cetakan 2009 dan 2013, penanda tangan Gubernur dan Deputi Gubernur. Yang dimaksud tentu saja Gubernur Bank Indonesia.
Tampak dari keduanya Deputi Gubernur tetap sama. Namun Gubernur telah berbeda. Tentu sudah ada pergantian jabatan.Â
![Uang Rp10 dengan variasi tahun penerbitan 1958 dan 1963 (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/01/08/pattimura-01-5a52ed00cf01b45e430744d2.jpg?t=o&v=770)
Minat numismatis terhadap 'variasi' mampu menumbuhkan ilmu numismatik. Maka sering kali setiap uang kertas yang baru beredar menjadi pengamatan para numismatis. Â Jadi numismatis mengoleksi juga mata uang yang masih beredar.
'Variasi' biasanya terdapat pada semua nominal. Kini sering terjadi seorang numismatis memiliki sampai 10 lembar nominal Rp1.000, misalnya, namun memiliki 'variasi' tahun pencetakan dan penanda tangan yang berbeda.
![Tanda del (delinavit) pada kiri bawah uang Rp10 (Dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/01/08/yunalies-del-5a52ed4616835f5cfd15c5c2.jpg?t=o&v=770)