Selasa, 14 November 2017 lalu, saya mendampingi tim Standardisasi Museum dari Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kemdikbud. Ada tiga museum di Jambi yang kami tuju. Yang pertama kami kunjungi adalah Museum Siginjei. Kami mewawancarai kepala museum dan beberapa jajaran di bawahnya. Selain itu mengambil foto dan mengamati tiap-tiap lokasi dan fasilitas yang ada di sana. Â
Kami diterima di ruang kepala museum. Suasana santai dan tidak formal-formalan mewarnai pertemuan itu. Maklum kami sudah sering berkomunikasi. Kepala Museum Siginjei, Bapak Dendi Berlian, baru menjabat beberapa bulan lalu. Sementara beberapa stafnya ada yang sudah bekerja di museum itu lebih dari sepuluh tahun.
Perubahan nama
Museum Siginjei merupakan nama baru yang dipakai sejak 30 Oktober 2012. Sebelumnya bernama Museum Negeri Provinsi Jambi (1988-1999) dan Museum Negeri Jambi (1999-2012). Peletakan batu pertama pembangunan museum dilakukan pada 18 Februari 1981, selanjutnya diresmikan pada 6 Juni 1988.
Benda-benda koleksi yang terhimpun dalam museum merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai-nilai luhur yang mencerminkan kehidupan masyarakat Provinsi Jambi pada masa lalu. Koleksi Museum Siginjei cukup banyak.
Kesepuluh jenis koleksi itu dipamerkan dalam ruang-ruang khusus seperti Ruang Potensi Alam, Ruang Candi Muaro Jambi, Ruang Budaya Masyarakat Jambi, Miniatur Goa Tiangko, Ruang Khazanah Budaya Jambi, Ruang Keramik, dan Pameran Terbuka.
Koleksi unggulan
Wilayah Jambi pernah disebut-sebut berhubungan dengan Kerajaan Sriwijaya. Maka banyak benda arkeologi tersebar di wilayah Jambi, baik hasil penemuan tidak disengaja maupun hasil ekskavasi arkeologis.
Ada beberapa koleksi unggulan atau koleksi maskot di Museum Siginjei. Yang paling menarik perhatian berupa dua buah arca Avalokitesvara. Menurut buku Koleksi Pilihan 25 Museum di Indonesia (Direktorat Museum, 2009), kedua arca itu ditemukan di Situs Rantaukapastuo, Kabupaten Batanghari, secara tidak disengaja oleh petani pada 3 Februari 1991.