Sebaliknya kita sering lihat tulisan populer oleh para wartawan atau bloger. Apalagi sejak beberapa tahun lalu tumbuh platform blog seperti Kompasiana (milik Kompas) dan Indonesiana (milik Tempo).
Meskipun menulis di blog publik dan blog pribadi tidak ada honorarium, namun masyarakat awam kerap menulis tentang berbagai kepurbakalaan. Terus terang ini sangat membanggakan. Jadi sangat membantu pihak arkeologi. Nah, PUBLIKATOR seperti ini harus menjadi mitra instansi-instansi arkeologi.
Menulis (ilmiah) populer pasti bermanfaat. Seorang rekan, Berthold Sinaulan, mengatakan, "Agar tinggalan masa lalu bisa dimengerti masyarakat luas yang pada gilirannya menumbuhkan apresiasi masyarakat untuk membantu melestarikan tinggalan-tinggalan yang ada dan memanfaatkannya untuk kemajuan umat manusia". Â Demikian nasihatnya untuk beberapa mahasiswa arkeologi UI.
Beberapa lulusan arkeologi juga bergerak di bidang SWASTA. Mereka menjadi pihak penyelenggara berbagai kegiatan, seperti pameran dan seminar. Tentu saja bekerja sama dengan berbagai instansi, jadi menggunakan dana APBN atau APBD. Â
Sudah saatnya arkeolog dan masyarakat yang termasuk kategori pengawas, publikator, dan swasta menjadi mitra instansi-instansi arkeologi. Meskipun berada pada urutan terakhir dari tugas arkeologi, yakni mempublikasikan hasil kegiatan arkeologi untuk kepentingan umum, ketiganya berperan penting. Publikasi memiliki beberapa jenis rupa, yaitu tercetak (tulisan), terekam (video), dan terpampang (pameran). Bayangkan apa jadinya kalau tidak ada yang mau menulis tentang arkeologi. Bayangkan juga kalau tidak ada film arkeologi dan pameran.***Â