Ada berbagai kegiatan yang dilaksanakan arkeologi. Semuanya tidak dapat berdiri sendiri, tapi harus bergandengan tangan.
Awalnya berupa PENDIDIKAN. Di Indonesia pendidikan arkeologi dilaksanakan sejak 1940 saat berdiri Fakultas Sastra dan Filsafat di Jakarta. Lulusan arkeologi pertama dihasilkan pada 1952. Saat ini ada empat Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menyelenggarakan Program Studi Arkeologi, yakni UI, UGM, UNUD, dan UNHAS. Baru beberapa tahun lalu dibuka lagi di UNJA dan UNHALU.
Lepas dari dunia pendidikan, lulusan arkeologi mulai bekerja. Saat ini ada dua instansi yang banyak menampung lulusan arkeologi. Di pusat ada Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit. PCBM) dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Dit. PCBM Â bergerak di bidang PELESTARIAN. Instansi ini memiliki 14 Satuan Kerja di berbagai provinsi dengan nama Balai Pelestarian Cagar Budaya. Masing-masing Satuan Kerja memiliki satu atau lebih wilayah kerja. Sementara Puslit Arkenas bergerak di bidang PENELITIAN. Instansi ini pun memiliki sejumlah Satuan Kerja dengan nama Balai Arkeologi.
Museum dan dinas
Di luar itu sejumlah instansi juga menampung lulusan arkeologi. Yang terbanyak adalah museum. Selanjutnya dinas terkait, umumnya dinas kebudayaan di seluruh provinsi. Lulusan arkeologi juga bisa memasuki Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sejumlah dinas, kepolisian, dan bea cukai. Instansi-instansi ini boleh dikatakan PENDUKUNG instansi arkeologi.
Kalau sudah ada pendidikan, penelitian, pelestarian, dan pendukung, apakah sudah cukup? Tentu saja belum. Sejak lama kita sering dengar atau membaca berita tentang penemuan tidak disengaja ketika penggarap tanah sedang bekerja. Di sejumlah tempat kita dengar adanya pencurian, penggalian liar, dan pengrusakan tinggalan lama. Instansi arkeologi jelas kewalahan melakukan pengawasan. Jumlah tenaga yang ada tidak sebanding dengan luasnya lahan, meskipun sesungguhnya banyak lulusan arkeologi tidak tertampung di instansi-instansi arkeologi karena keterbatasan anggaran pemerintah.
Komunitas dan dana pribadi
Sudah tentu kita perlu tenaga PENGAWAS, kalau boleh disebut demikian. Tenaga pengawas berasal dari masyarakat sekitar. Apalagi sejak lama banyak tumbuh komunitas pelestari sejarah dan budaya atau berkecimpung di bidang heritage. Mereka sering blusukan ke berbagai tinggalan purbakala. Bahkan bukan hanya itu, mereka secara rutin melestarikan kebudayaan Nusantara dalam bentuk sinau aksara Jawa Kuno.
Kalau di bidang pendidikan, penelitian, penelitian, dan pendukung boleh dikatakan tidak terkendala dana karena menggunakan APBN atau APBD, tidaklah demikian dengan pengawas. Rata-rata menggunakan dana pribadi dengan istilah bantingan (patungan). Termasuk untuk membuat papan nama cagar budaya di berbagai tempat.
Bagaimana agar bersifat "dari arkeologi untuk masyarakat", tentu saja dibutuhkan tulisan ilmiah populer atau tulisan populer, dengan bahasa gaul, tidak dipenuhi istilah teknis, dan tulisan tidak panjang. Tulisan ilmiah populer sebaiknya dilakukan para arkeolog sendiri, terutama yang bekerja di instansi-instansi arkeologi karena mereka paling tahu setiap kegiatan. Sayang ini masih sangat jarang dilakukan karena kekurangmampuan para arkeolog sendiri. Padahal setiap instansi arkeologi umumnya sudah memiliki laman sendiri.