Senin, 30 Oktober 2017 lalu, seusai mengikuti Diskusi Publik Permuseuman di lantai 4, saya menyempatkan singgah di lantai 1. Untung saja seorang petugas mengizinkan saya masuk. Maklum setiap Senin memang museum tutup. Saya pikir sekalian saja saya ada waktu. Toh cuma dari lantai 4 ke lantai 1.
Karena secara formal tutup, tentu saja lampu-lampu penerangan banyak dimatikan. Tapi saya masih bisa mengamati sebagian koleksi di sana. Yah, beberapa koleksi di Bayt Al-Qur'an.
Sebenarnya, nama lengkap museum itu Bayt Al-Qur'an dan Museum Istiqlal. Bagian depan berisikan koleksi Bayt Al-Qur'an, sementara di gedung satunya lagi terdapat Museum Istiqlal. Keduanya berada dalam manajemen yang sama, yakni Kementerian Agama.
Menurut buku Museum Tematik di Indonesia (Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, cetakan II, 2015), gagasan awal pendirian Bayt Al-Qur'an muncul dari Menteri Agama ketika itu, H. Tarmizi Taher pada 1994. Ketika pada 1995 Presiden Soeharto meresmikan Mushaf Istiqlal, gagasan tersebut semakin dikembangkan. Bayt Al-Qur'an atau Rumah Al-Qur'an merupakan tempat untuk menghimpun, menyimpan, memelihara, dan memamerkan mushaf Al-Qur'an dari berbagai macam bentuk dan jenis, yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
Bayt Al-Qur'an menyimpan materi inti yang merupakan hasil pemahaman, pengkajian, dan apresiasi umat Islam Indonesia terhadap kitab sucinya. Koleksinya meliputi manuskrip Al-Qur'an, Al-Qur'an cetakan, Al-Qur'an produk elektronik dan digital, terjemahan dan tafsir Al-Qur-an, serta karya seni dan tradisi Qur'ani.
Unik
Dari banyak koleksi, ada beberapa yang dianggap unik karena bentuk dan ukurannya. Yang pertama, Al-Qur'an Huruf Arab Braille buatan 1964. Selanjutnya Al-Qur'an terbesar mushaf Wonosobo yang ditulis dari 16 Oktober 1991 hingga 7 Desember 1992. Ukuran mushaf itu 150 cm x 200 cm. Al-Qur-an tertua La Nino dari masa 1815 ada juga di sini. Koleksi unik lain mushaf cetakan mini atau terkecil berukuran 2 cm x 2,5 cm x 0,7 cm.
Islam merupakan agama terbesar di negara kita. Seharusnya masyarakat bahu-membahu untuk menyelamatkan koleksi yang mengkhawatirkan. Terus terang, saya agak ragu dengan Kementerian Agama soal anggaran untuk pemeliharaan koleksi. Mungkin hanya dianggap membuang-buang uang. Yang perlu dipahami, memelihara koleksi memang mahal. Bukan tidak mungkin nanti menjadi museum tentang keislaman terbesar dan terlengkap di dunia.