Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dulu untuk Praktik Anatomi, STOVIA Mendatangkan Mayat dari Prancis

28 September 2017   19:34 Diperbarui: 30 September 2017   06:34 4508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Praktik anatomi di STOVIA, pada salah satu ruang di Museum Kebangkitan Nasional (Dokpri)

Pendidikan kedokteran di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang, dimulai sejak awal abad ke-19 melalui pendidikan kesehatan. Ini karena sejak zaman VOC, banyak penyakit tropis di kalangan rakyat, terutama penyakit perut dan kulit. Belum lagi berbagai penyakit menular yang ditakuti saat itu, cacar dan kudis (frambosia).

Raffles yang bertugas di Jawa pada 1811-1816 mulai memikirkan pemberantasan penyakit itu. Ia mendidik secara khusus tenaga bumiputera Jawa untuk menjadi petugas pemberi vaksin serum cacar air. Demikian inti cerita Prof. Djoko Marihandono dan dr. Rushdy Hoesein dalam diskusi bertajuk "Dari Sekolah Dokter Jawa Sampai STOVIA" di Museum Kebangkitan Nasional, Kamis, 28 September 2017. Diskusi dipandu oleh drg. Mira Madjid Sp. Perio.

Keberhasilan vaksinasi cacar kemudian menjadi perhatian pemerintah kolonial Belanda. Menjelang akhir 1848 wabah penyakit cacar meluas di seluruh Jawa, terutama di kota-kota besar sepanjang pantai utara. Kepala Dinas Kesehatan Militer dr. Willem Bosch mengusulkan agar penambahan petugas vaksin dilakukan melalui pendidikan formal secara khusus.

Keluarga Jawa
Pada 2 Januari 1849 Gubernur Jenderal Duymaer van Twist mengeluarkan keputusan bahwa pemerintah akan mendidik 30 pemuda Jawa di bidang kesehatan dan petugas vaksin secara gratis di rumah sakit militer Weltevreden. Rumah sakit itu sekarang bernama RSPAD Gatot Subroto. Ke-30 pemuda itu berasal dari keluarga Jawa yang mampu membaca dan menulis huruf Melayu, terlebih aksara Jawa. Mereka akan didik selama dua tahun dan memperoleh gaji termasuk akomodasi gratis di asrama.

Para pembicara diskusi (Dokpri)
Para pembicara diskusi (Dokpri)
Pendidikan dimulai pada 1851. Semakin tahun pendidikan ditingkatkan agar sejajar dengan pendidikan dokter di Eropa. Setelah dua tahun, lama pendidikan diperpanjang menjadi 3, 7, bahkan 8 tahun.

Pendidikan kedokteran semakin maju berkat peranan C. Eijkman. Ia mempelopori penerbitan majalah sejak 1893. Kedudukan Eijkman kemudian digantikan oleh H.F. Roll pada 1895. Pada Mei 1898 Roll mengusulkan pembangunan gedung sekolah baru.

Pada 1902 Sekolah Dokter Jawa diubah namanya menjadi Sekolah Pendidikan Para Dokter Bumiputera atau School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen (STOVIA). Karena nama ini, semua etnis dapat mengikuti pendidikan di STOVIA. Karena ketersediaan mayat untuk praktik anatomi sangat mengkhawatirkan, Roll melakukan tukar-menukar mayat dari Prancis dengan hewan tropis. Unik yah, untuk praktik anatomi saja harus mendatangkan mayat dari Prancis. Sejak 1913 nama sekolah pendidikan kedokteran ini berubah lagi menjadi School tot Opleiding voor Indische Artsen, tetap disingkat STOVIA.

Pindah ke Salemba
Pada 5 Juli 1920 seluruh pendidikan sekolah kedokteran dipindahkan ke Salemba. Maka gedung STOVIA yang berada di Hospitaal Weg difungsikan sebagai asrama. Dengan berdirinya sekolah kedokteran di Hindia-Belanda, maka kesehatan masyarakat menjadi lebih baik dan lebih terjamin daripada sebelumnya.

Pelajar STOVIA dari berbagai etnis koleksi Museum Kebangkitan Nasional (Dokpri)
Pelajar STOVIA dari berbagai etnis koleksi Museum Kebangkitan Nasional (Dokpri)
Menurut dr. Rushdy Hoesein, penyakit tropis menarik perhatian dokter-dokter Belanda karena di Belanda tidak dikenal penyakit panu. Dokter yang tertarik sejarah itu banyak bercerita tentang sejumlah dokter yang berkarier dalam politik Indonesia. "Soalnya dalam sekolah kedokteran diajarkan banyak hal, bukan hanya kesehatan. Bayangkan, dalam sekolah kedokteran diajarkan membuat peta," katanya. Selama ini kita mengenal beberapa tokoh dari kalangan dokter, seperti dr. Soetomo, dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Rajiman Wedyodiningrat, dan dr. Muwardi.

Diskusi dihadiri sejumlah guru, mahasiswa, komunitas, dan pemerhati sejarah. Cukup seru dan bermanfaat berkat ilmu dari kedua pakar itu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun