Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alat Pemecah Kepala Manusia di Museum Kebangkitan Nasional

24 Agustus 2017   10:56 Diperbarui: 25 Agustus 2017   09:29 3872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alat pemecah kepala dari sisi lain (Dokpri)

Museum Kebangkitan Nasional selalu dikaitkan dengan kehadiran organisasi pergerakan Boedi Oetomo (Budi Utomo) dan Sekolah Kedokteran Djawa (STOVIA). Memang tidak salah kalau masyarakat berpandangan demikian. Soalnya organisasi Budi Utomo dibentuk oleh para pelajar STOVIA, antara lain Soetomo dan Wahidin Sudirohusodo.

Karena di sini pernah berdiri sekolah kedokteran, tentu koleksi museum berupa benda-benda yang berhubungan dengan dunia kedokteran. Ada empat ruangan yang menampilkan koleksi dunia kedokteran.

Keempat ruangan ini terdapat di sisi kanan museum dari arah pintu masuk. Isi informasinya tentang sejarah pengobatan dan kedokteran berikut peralatan yang digunakan pada masa tersebut. Di sini pengunjung dapat melihat peralatan yang digunakan dukun sebelum dokter datang. Juga alat-alat yang dipergunakan oleh dokter gigi pada masa itu, alat-alat sunat, alat bantu pernapasan, mikroskop, alat ronsen, alat pemecah kepala, dan lain-lain.

Karena menyangkut sejarah pergerakan nasional, isi museum pun tidak lepas dari itu. Selain tokoh-tokoh Budi Utomo, ditampilkan pula tokoh-tokoh pergerakan lain seperti R.A. Kartini, Samanhudi, dan Ahmad Dahlan.

Ikon museum
Boleh dibilang ikon museum adalah alat pemecah kepala manusia. Mendengar judulnya mungkin terasa menyeramkan. Lalu pertanyaannya kepala siapa yang dipecahkan dan bagaimana caranya?

Dulu orang yang sudah meninggal kepalanya dipenggal. Kepalanya itu ditaruh di tengah. Dilihat dari ukuran dan bentuknya tentu di area lingkaran. Ada semacam kemudi dan pemutar pada alat ini, entah fungsi masing-masing. Setelah kepalanya pecah, otaknya keluar. Organ itu diambil untuk penelitian.

Alat pemecah kepala dari sisi lain (Dokpri)
Alat pemecah kepala dari sisi lain (Dokpri)
Tentu buat masyarakat awam terdengar ngeri. Tapi ini tentunya dilakukan sesuai prosedur medis yang bertanggung jawab. Kalau tidak ada praktek seperti itu, mana mungkin para calon dokter bisa memelajari dan memperdalam pengetahuan mereka tentang isi kepala manusia.

Melihat berbagai alat kedokteran dan kedisiplinan yang diajarkan saat itu, rasanya tidak mengherankan apabila STOVIA mampu menghasilkan pemuda yang berguna bagi bangsa dan negara.

Digabung
Menurut Kepala Museum Kebangkitan Nasional R. Tjahjopurnomo, alat pemecah kepala itu sudah ada sejak lama. Tepatnya sejak adanya empat museum di gedung sekarang. Memang belum banyak diketahui masyarakat kalau sebelum dijadikan museum, pada 1973 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memugar gedung tersebut. Selanjutnya pada 1974 Presiden Suharto meresmikannya menjadi Gedung Kebangkitan Nasional.

Dalam gedung tersebut terdapat empat buah museum yaitu Museum Budi Utomo, Museum Wanita, Museum Pers, dan Museum Kesehatan. Gedung ini juga dimanfaatkan sebagai perkantoran swasta atau yayasan seperti Kantor Yayasan Pembela Tanah Air, Perpustakaan Yayasan Idayu, Yayasan Perintis Kemerdekaan, dan Lembaga Perpustakaan Dokumentasi Indonesia.

Pada 7 Februari 1984 keempat museum digabung menjadi Museum Kebangkitan Nasional dan dikelola Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bangunannya sendiri kemudian ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sehingga memperoleh perlakuan khusus.

Mumpung masih gratis, ayo manfaatkan datang ke Museum Kebangkitan Nasional. Museum ini terletak di Jalan Abdulrahman Saleh 26, Jakarta Pusat. Hanya beberapa meter dari RSPAD Gatot Subroto. Kalau naik bus Transjakarta, turun di halte Atrium atau halte Kwitang, lalu berjalan kaki sekitar 200 meter.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun