Beberapa hari terakhir ini nama Majapahit dan Gajah Mada begitu viral di media sosial. Ini gegara Majapahit dikatakan kerajaan Islam. Begitu pun Gajah Mada, sehingga namanya berubah menjadi Gaj Ahmada.
Pada kesempatan ini, saya cuma ingin membahas nama Gajah Mada. Setahu saya, sampai sejauh ini pernah terdapat beberapa prasasti dari Kerajaan Majapahit. Tiga di antaranya menyebut nama Gajah Mada, tentu saja dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno. Bukan aksara dan bahasa Arab. Kini ketiga prasasti itu menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta.
Prasasti Palungan (1252 Saka atau 1330 Masehi)
Prasasti Palungan pernah dikaji oleh Lely Endah Nurvita di Jurusan Arkeologi UI pada 2002. Prasasti itu ditemukan di Blitar (Jawa Timur) dan berasal dari masa pemerintahanTribhuwana atau lengkapnya Tribhuwanottunggadewi.
Menurut Lely, untuk menyusun sebuah kisah sejarah dibutuhkan unsur waktu, tokoh, peristiwa, dan tempat. Keempat unsur tersebut belum Iengkap digali dan diteliti lebih mendalam. "Untuk dapat mengetahui empat unsur pokok sejarah prasasti Palungan, maka dilakukan alih aksara dan alih bahasa terhadap prasasti tersebut. Â Selain itu untuk mengetahui apakah data ini layak atau tidak, maka data harus diuji dengan serangkaian tahap analisis yang dimulai dengan tahap Heuristik, dilanjutkan Kritik Teks (Ekstern dan Intern), Interpretasi, dan Historiografi," begitu kata Lely dalam pengantar skripsinya.
Dari hasil analisis tersebut Lely menyimpulkan bahwa Prasasti Palungan ditulis sesuai dengan zamannya dan bukan merupakan prasasti tiruan atau palsu sehingga Iayak untuk dijadikan data sejarah kuno Indonesia. Prasasti Palungan menyebutkan nama Gajah Mada dengan jelas. Ia menjabat "Patih ring Daha".Â
Prasasti Prapancasarapura ditemukan di Surabaya. Tarikhnya 1337 Masehi. Disayangkan sebagian besar unsur-unsur penanggalan pada prasasti ini rusak. Bagian atas prasasti hilang, mungkin dipangkas karena patahannya merata. Diperkirakan prasasti ini akan dijadikan potongan balok-balok batu yang lebih kecil. Indikasinya adalah dua pahatan garis melintang dan membujur yang membuat sebagian tulisan menjadi rusak.
Oleh karena bagian atas prasasti sudah hilang, maka hilang pulalah sebagian tulisan yang biasanya memuat unsur penanggalan. Di Museum Nasional, prasasti itu ditandai dengan nomor inventaris D.38.