Beberapa hari terakhir ini pengguna media sosial ramai membicarakan soal Kerajaan Majapahit dan Gajah Mada hasil kajian sebuah organisasi massa di Yogyakarta. Menurut penelitian itu Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Islam, bukan kerajaan Hindu yang selama ini dituliskan buku-buku sejarah. Dikatakan patihnya bukan Gajah Mada tetapi Gaj Ahmada, nama yang kearab-araban. Arab dan Islam memang hampir selalu diidentikkan.
Terus terang saya bukanlah ilmuwan yang kerap meneliti situs-situs Majapahit. Saya pun tidak bekerja di instansi arkeologi. Namun saya tetap tertarik berceloteh tentang pengalaman dan apa yang saya tahu tentang Gajah Mada.
Setahu saya nama Gajah Mada sudah demikian besar. Untuk menghormati beliau, sejumlah instansi kemiliteran dan kepolisian, membuatkan patung Gajah Mada. Di Jakarta patung Gajah Mada ada di halaman Mabes Polri. Jelas ini dikaitkan dengan nama pasukan Bhayangkara yang dipimpin Gajah Mada. Ada juga di instansi milik TNI AD di Jalan Gunung Sahari dan di bilangan Manggarai. Saya tidak tahu ujud Gajah Mada yang benar karena semua tampilan berbeda-beda.
Wajah Gajah Mada yang saya tahu merupakan rekaan Moh. Yamin berdasarkan temuan pecahan terakota dari situs Trowulan, yang diduga merupakan bekas ibu kota Kerajaan Majapahit. Sesuai namanya, Gajah Mada dinilai berwajah tegap dan tambun laksana seekor gajah.
Patung, monumen, dan nama jalan juga ada di luar Jakarta. Bahkan ada Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pokoknya nama Gajah Mada sudah top-markotop.
Sumber sejarah
Nama Gajah Mada dikenal luas berkat buku karya Moh. Yamin, Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara (1945). Kajian Moh. Yamin menjadi langkah awal untuk memahami tokoh Gajah Mada. Setelah itu banyak ilmuwan, termasuk penulis fiksi memanfaatkan nama Gajah Mada. Berbagai novel sejarah laku keras di pasaran. Padahal isinya mencakup dialog panjang lebar antara Gajah Mada dengan raja-raja Majapahit dan kesaktian ajaib yang dimiliki Gajah Mada. Mana ada karya ilmiah membualseperti itu. Dialog panjang lebar dan kesaktian Gajah Mada jelas tidak pernah ada dalam sumber-sumber sejarah.
Selama ini kita mengenal sumber sejarah tertulis dan sumber sejarah tidak tertulis. Yang termasuk sumber sejarah tertulis adalah prasasti dan karya sastra yang sezaman. Contohnya Prasasti Gajah Mada, naskah Nagarakretagama, Pararaton, Tantu Panggelaran,BabadArung Bondan, dan Kisah Panji. Sementara yang termasuk sumber sejarah tidak tertulis adalah benda-benda arkeologi, seperti arca, relief, dan candi.
Memang sebagian pekerjaan ilmiah harus dilakukan dengan tafsiran. Bukan berarti tafsiran tersebut harus pasti atau benar. Selama belum ada temuan baru, tafsiran itulah yang dipakai. Barulah kalau ada sumber tertulis baru, misalnya yang memperjelas jati diri Gajah Mada, tafsiran terakhirlah yang dipakai.
Prasasti Gajah Mada