Pada Februari 1822 kapal Tek Sing menabrak pulau karang di Laut Tiongkok Selatan bagian perairan Indonesia. Akhirnya kapal itu tenggelam. Jumlah korban manusia sebanyak 400 awak kapal dan 1.600 penumpang.  Korban tragedi kapal Tek Sing lebih banyak daripada kapal Titanic. Kapal itu lantas dikenal sebagai ‘Oriental Titanic’.
Sebuah informasi menyebutkan sebenarnya barang keramik yang berhasil dikumpulkan berjumlah sekitar sejuta potong. Namun demi mendongkrak harga pasaran, Hatcher memerintahkan anak buahnya untuk menghancurkan sekitar 600.000 potong keramik. Â Dalam prinsip ekonomi memang semakin langka barang, harga akan semakin mahal.
Pada 2010 Hatcher diduga berada di perairan Blanakan, Subang. Diperkirakan, dia baru saja menemukan harta karun dari Dinasti Ming yang tenggelam di perairan itu. Nilainya diperkirakan lebih dari 200 juta dollar. Jika berhasil diangkat, ini pencapaian tertinggi Hatcher sebagai pemburu harta karun.
Memang nilai-nilai komersial dari barang-barang berharga asal kapal-kapal tenggelam di perairan Nusantara sangat tinggi. Kita berhasil mendeteksi koordinat kapal-kapal itu. Tapi di banyak tempat—terutama di laut-laut dangkal—kita  kalah cepat dengan nelayan dan pemburu barang antik. Di laut dalam, kita kalah dengan para pemodal.
Dengan peralatan sederhana, hanya selang dan kompresor, para amatiran mampu menyelam sekaligus mengambil barang-barang berharga. Lalu dijual kepada para penadah. Dengan peralatan dan kapal modern, para profesional dan sindikat internasional mampu mengeruk kekayaan bahari yang luar biasa.
Meskipun sudah ada kesepakatan untuk mengganti istilah harta karun laut (karena cenderung bersifat ekonomis) dengan istilah cagar budaya bawah air (mengacu kepada pelestarian) tetap saja masyarakat menjarahi barang-barang itu. Jelas, Undang-undang Cagar Budaya harus dijalankan dengan ketat.
Sejak beberapa waktu lalu sudah dikeluarkan moratorium untuk mengangkat muatan kapal tenggelam. Semoga pemerintah kita mampu menangani sisa-sisa kapal. Bukan berdasarkan bagi hasil dengan investor lagi. Sejak lama sudah terjadi pencurian bahkan penjarahan muatan kapal tenggelam. Meskipun ada yang legal tapi tetap saja pengangkatan muatan tersebut tidak mengikuti kaidah-kaidah arkeologi. Kita kehilangan konteks temuan tersebut sehingga tidak ada cerita sejarah yang kita terima.
Para ilmuwan memang selalu kalah cepat dengan pelaku pencurian. Ironisnya, beberapa institusi malah ingin sekali menjadi lokomotif bagi lembaga semacam Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam (Pannas BMKT). Entah apa namanya sekarang, masih tetap atau sudah berubah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H