Kuli bangunan atau pekerja proyek memang menggali tanah. Arkeolog pun menggali tanah. Yang membedakan keduanya adalah metode yang digunakan. Kuli bangunan atau pekerja proyek ingin bekerja secepat mungkin. Sebaliknya arkeolog ingin bekerja seteliti mungkin. Karena itu pekerjaan arkeolog terbilang khas. Nama kerennya ekskavasi, berasal dari Bahasa Inggris excavation.
Arkeolog tidak sembarangan melakukan ekskavasi. Umumnya tujuan ekskavasi adalah membuktikan hipotesis sebagaimana disebut sumber-sumber sejarah. Atau bisa juga untuk menindaklanjuti survei yang pernah dilakukan sebelumnya. Misalnya saja, dalam survei ditemukan keramik pada permukaan tanah. Nah, apakah benda-benda demikian atau benda-benda lain ada yang masih terpendam di dalam tanah, untuk itulah arkeolog melakukan ekskavasi.
Ilmiah
Ekskavasi dalam arkeologi dilakukan dengan prinsip ilmiah. Karena itu perlu sekali kehati-hatian dalam bekerja. Soalnya ekskavasi bersifat pengrusakan. Artinya tanah yang digali tidak bisa dikembalikan 100% seperti keadaan semula. Memang ada ilmu lain yang melakukan ekskavasi, yakni geologi. Namun geologi mencari benda-benda nonbudaya, sementara arkeologi mencari benda-benda budaya atau buatan manusia.
Masih ingat ekskavasi di Situs Gunung Padang, Cianjur, beberapa tahun lalu? Jelas itu kesalahan besar karena penanganan situs arkeologi menggunakan teknik-teknik geologi, alat berat, dan tentara dengan sepatu lars. Â Lagi pula tujuan ekskavasi Gunung Padang untuk mencari harta karun emas yang katanya masih tertimbun di dalam tanah.
Ketika memulai ekskavasi, langkah yang pertama kali dilakukan arkeolog adalah membuat kotak galian, umumnya berukuran 2 meter x 2 meter. Pembuatan kotak galian menggunakan kompas—bahkan pada masa kini GPS—untuk mengetahui arah atau koordinat keletakan. Memang arkeolog menggunakan pacul atau cangkul. Namun untuk selanjutnya sering kali menggunakan petel (cangkul kecil) dan cetok (sendok semen yang berujung runcing).
Jika sudah ada tanda-tanda benda temuan, arkeolog menggunakan tusuk gigi, kuas, atau sikat. Setelah benda temuan tampak, arkeolog melakukan pemotretan lengkap dengan nama situs, nama kotak galian, tanggal, skala, dan arah. Inilah pentingnya dokumentasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya atau untuk analisis benda temuan.
Tentu saja setelah itu dilakukan publikasi, baik yang bersifat ilmiah maupun populer. Masyarakat memang berhak mengetahui pekerjaan yang dilakukan para arkeolog. Benda-bendanya sendiri kemudian dipamerkan, untuk diperlihatkan kepada masyarakat. Jika berukuran kecil, hasil ekskavasi disimpan di dalam museum. Sebaliknya kalau besar, macam candi, dibiarkan di tempat aslinya. Bisa saja dalam bentuk taman purbakala.
Masyarakat
Uniknya, sepanjang penelitian arkeologi di Indonesia, arkeolog jarang sekali  menemukan benda kuno berdasarkan hipotesis ilmiah. Umumnya berdasarkan informasi dari masyarakat penggarap tanah. Candi Sambisari umpamanya. Suatu ketika seorang petani menggali tanah perkebunannya. Tiba-tiba paculnya terantuk batu berukir kuno.  Setelah dilakukan ekskavasi, maka tersembullah Candi Sambisari. Rupanya candi itu tertutup debu gunung berapi beberapa meter dari permukaan tanah sekarang.